Soeharto
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Presiden Indonesia ke-2
|
|
Wakil Presiden
|
Hamengkubuwono
IX (1973–1978)
Adam Malik (1978–1983) Umar W. (1983–1988) Sudharmono (1988–1993) Try Sutrisno (1993–1998) B. J. Habibie (1998) |
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Presiden
|
|
Didahului oleh
|
|
Presiden
|
Soeharto
|
Digantikan oleh
|
|
Presiden
|
Soeharto
|
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
|
Presiden
|
Soekarno
Soeharto |
Didahului oleh
|
|
Digantikan oleh
|
Jabatan dihapuskan
|
Informasi
pribadi
|
|
Lahir
|
|
Meninggal
|
|
Kebangsaan
|
|
Partai politik
|
|
Suami/istri
|
|
Anak
|
Siti
Hardijanti Hastuti
Sigit Harjojudanto Bambang Trihatmodjo Siti Hedijati Harijadi Hutomo Mandala Putra Siti Hutami Endang Adiningsih |
Profesi
|
|
Agama
|
|
Tanda tangan
|
|
Dinas
militer
|
|
Dinas/cabang
|
|
Masa dinas
|
1945-1974
|
Pangkat
|
|
Unit
|
Jenderal Besar TNI Purn. H. M. Soeharto, (ER, EYD: Suharto) (lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 – meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun) adalah Presiden Indonesia yang kedua (1967-1998), menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia Barat, Soeharto
sering dirujuk dengan sebutan populer "The Smiling General"
(bahasa Indonesia: "Sang Jenderal yang Tersenyum") karena raut
mukanya yang selalu tersenyum.
Sebelum menjadi
presiden, Soeharto adalah pemimpin militer pada masa pendudukan Jepang dan
Belanda, dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelah Gerakan 30 September, Soeharto menyatakan bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab dan memimpin operasi
untuk menumpasnya. Operasi ini menewaskan lebih dari 500.000 jiwa.[1][2]
Soeharto
kemudian mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, dan resmi menjadi presiden
pada tahun 1968. Ia dipilih kembali oleh MPR pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Pada tahun 1998, masa jabatannya
berakhir setelah mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei tahun tersebut, menyusul terjadinya Kerusuhan Mei 1998 dan pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa. Ia merupakan
orang Indonesia terlama dalam jabatannya sebagai presiden. Soeharto digantikan
oleh B.J. Habibie.
Peninggalan
Soeharto masih diperdebatkan sampai saat ini. Dalam masa kekuasaannya, yang
disebut Orde Baru, Soeharto
membangun negara yang stabil dan mencapai kemajuan ekonomi dan infrastruktur.[3][4][5][6] Suharto juga
membatasi kebebasan warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menduduki Timor Timur, dan dianggap
sebagai rezim paling korupsi sepanjang masa dengan jumlah $AS 15 miliar sampai
$AS 35 miliar.[7] Usaha untuk
mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya yang memburuk. Setelah menderita
sakit berkepanjangan, ia meninggal karena kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
Daftar isi
- 1 Foto Resmi Kepresidenan
- 2 Keluarga Soeharto
- 3 Awal hidup dan pendidikan
- 4 Karier militer
- 5 Naik ke kekuasaan
- 6 Sebagai presiden
- 7 Upaya mengatasi krisis dan meredam oposisi
- 8 Puncak Orde Baru
- 9 Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
- 10 Kejatuhan Presiden Soeharto
- 11 Kasus dugaan korupsi
- 12 Peninggalan
- 13 Kematian
- 14 Lihat pula
- 15 Daftar pustaka
- 16 Referensi
- 17 Pranala luar
Foto Resmi Kepresidenan
Foto
Kepresidenan Soeharto 1973
Foto
Kepresidenan Soeharto 1978
Foto Kepresidenan
Soeharto 1983
Foto
Kepresidenan Soeharto 1988
Foto
Kepresidenan Soeharto 1993
Foto
Kepresidenan Soeharto 1998
Keluarga Soeharto
Foto keluarga
Soeharto
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Keluarga Soeharto
Pada saat itu
keluarga Prawirowihardjo, orang tua angkatnya mengutus Mbok Bongkek sebagai
pembawa pesan lamaran disertai foto Soeharto yang ketika itu berusia sekitar 26
tahun. Akhirnya, ia resmi menikah dengan Raden Ayu Siti
Hartinah, anak KRMT
Soemoharyomo. Soemoharyomo adalah seorang Wedana di Solo. Perkawinan Letnan
Kolonel (Letkol) Soeharto dengan Siti Hartinah (yang kemudian dikenal dengan
Tien Soeharto) dilangsungkan pada 26 Desember 1947 di Solo. Ketika itu, usia
Soeharto 26 tahun dan Siti Hartinah berusia 24
tahun. Pasangan ini dikarunia enam putra-putri, yaitu Siti Hardiyanti Hastuti (Tutut), Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Harijadi (Titiek) , Hutomo Mandala Putra (Tommy), dan Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek).
Awal hidup dan pendidikan
Pada 8 Juni 1921, Sukirah melahirkan bayi laki-laki di
rumahnya yang sederhana di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Kelahiran itu dibantu dukun bersalin
bernama Mbah Kromodiryo yang juga adik kakek Sukirah, Mbah Kertoirono. Oleh
ayahnya, Kertoredjo alias Wagiyo alias Panjang alias Kertosudiro bayi laki-laki
itu diberi nama Soeharto. Dia adalah anak ketiga Kertosudiro dengan Sukirah
yang dinikahinya setelah lama menduda. Dengan istri pertama, Kertosudiro yang
menjadi petugas pengatur air desa atau ulu-ulu, dikaruniai dua anak. Perkawinan
Kertosudiro dan Sukirah tidak bertahan lama. Keduanya bercerai tidak lama
setelah Soeharto lahir. Sukirah menikah lagi dengan Pramono dan dikaruniai
tujuh anak, termasuk putra kedua, Probosutedjo.
Belum genap 40
hari, bayi Soeharto dibawa ke rumah Mbah Kromo karena ibunya sakit dan tidak
bisa menyusui. Mbah Kromo kemudian mengajari Soeharto kecil untuk berdiri dan
berjalan. Soeharto juga sering diajak ke sawah. Sering, Mbah Kromo menggendong
Soeharto kecil di punggung ketika sedang membajak sawah. Kenangan itu tidak
pernah dilupakan Soeharto. Terlebih ketika kakeknya memberi komando pada kerbau
saat membajak sawah. Karena dari situlah, Soeharto belajar menjadi pemimpin.
Soeharto juga suka bermain air, mandi lumpur atau mencari belut.
Ketika semakin
besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya.
Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula
disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD
Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono pindah rumah ke
Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro,
Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan
seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra
paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto
kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga
mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.
Kegemaran
bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan
pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian.
Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di sanggar bersama teman-temannya.
Belajar mengaji bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di
kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng
Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat
Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke
sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal
di rumah Hardjowijono. Pak Hardjowijono adalah teman ayahnya yang pensiunan
pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo,
tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.
Karena sering
diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional
untuk mengobati orang sakit. Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk untuk
melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di
Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan
sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).
Setamat SMP,
Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya,
ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi.
Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, namun gagal. Ia
kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu
klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia minta
berhenti.
Suatu hari pada
tahun 1942, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk
Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia
mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat
bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan, karena Belanda menyerah kepada
Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah,
karier militernya dimulai.
Karier militer
Pada 1 Juni 1940, ia diterima sebagai siswa di sekolah
militer di Gombong, Jawa Tengah. Setelah enam
bulan menjalani latihan dasar, ia tamat sekolah militer sebagai lulusan terbaik
dan menerima pangkat kopral. Ia terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah
Bintara, Gombong serta resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Dia bergabung
dengan pasukan kolonial Belanda, KNIL. Saat Perang Dunia II berkecamuk
pada 1942, ia dikirim ke
Bandung untuk menjadi
tentara cadangan di Markas Besar Angkatan Darat selama seminggu. Setelah
berpangkat sersan tentara KNIL, dia kemudian menjadi komandan peleton, komandan kompi di dalam militer yang disponsori Jepang yang dikenal sebagai tentara PETA, komandan
resimen dengan pangkat mayor, dan komandan batalyon berpangkat letnan kolonel.
Setelah Perang Kemerdekaan berakhir, ia tetap menjadi Komandan
Brigade Garuda Mataram dengan pangkat letnan kolonel. Ia memimpin Brigade
Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Azis di Sulawesi.
Kemudian, ia ditunjuk sebagai Komadan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat) Sektor Kota Makassar yang bertugas mengamankan kota dari gangguan eks
KNIL/KL.
Pada 1 Maret 1949, ia ikut serta dalam serangan umum yangberhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam
jam. Inisiatif itu muncul atas saran Sri Sultan Hamengkubuwono IX kepada Panglima Besar Soedirman bahwa Brigade
X pimpinan Letkol Soeharto segera melakukan serangan umum di Yogyakarta dan
menduduki kota itu selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia
(RI) masih ada.
Pada usia
sekitar 32 tahun, tugasnya dipindahkan ke Markas Divisi dan diangkat menjadi
Komandan Resimen Infenteri 15 dengan pangkat letnan kolonel (1 Maret 1953).
Pada 3 Juni 1956, ia diangkat menjadi Kepala Staf
Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro di Semarang. Dari Kepala Staf, ia
diangkat sebagai pejabat Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1
Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel.
Lembaran hitam
juga sempat mewarnai lembaran kemiliterannya. Ia dipecat oleh Jenderal Nasution sebagai Pangdam Diponegoro. Peristiwa
pemecatan pada 17 Oktober 1959 tersebut akibat ulahnya yang diketahui
menggunakan institusi militernya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahan
di Jawa Tengah. Kasusnya
hampir dibawa ke pengadilan militer oleh Kolonel Ahmad Yani[butuh rujukan]. Atas saran Jendral Gatot Subroto saat itu, dia
dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) di Bandung, Jawa Barat. Pada usia 38
tahun, ia mengikuti kursus C SSKAD (Sekolah Staf dan Komando AD) di Bandung dan
pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal pada 1 Januari 1960. Kemudian, dia diangkat sebagai Deputi
I Kepala Staf Angkatan Darat di usia 39 tahun.
Pada 1 Oktober 1961, jabatan rangkap sebagai Panglima
Korps Tentara I Caduad (Cadangan Umum AD) yang telah diembannya ketika berusia
40 tahun bertambah dengan jabatan barunya sebagai Panglima Kohanudad (Komando
Pertahanan AD). Pada tahun 1961 tersebut, ia juga mendapatkan tugas sebagai
Atase Militer Republik Indonesia di Beograd, Paris (Perancis), dan Bonn (Jerman). Di usia 41 tahun, pangkatnya
dinaikkan menjadi mayor jenderal (1 Januari 1962) dan menjadi Panglima Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat dan merangkap sebagai Deputi Wilayah Indonesia Timur di
Makassar. Sekembalinya dari Indonesia Timur, Soeharto yang telah naik pangkat
menjadi mayor jenderal, ditarik ke markas besar ABRI oleh Jenderal A.H. Nasution. Di
pertengahan tahun 1962, Soeharto
diangkat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)
hingga 1965.
Sekitar setahun
kemudian, tepatnya, 2 Januari 1962, Brigadir Jenderal Soeharto diangkat
sebagai Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat. Mayor Jenderal
Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segera
membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Setelah diangkat
sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 1 Mei 1963, ia membentuk
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi
G-30-S yang berkecamuk pada 1 Oktober 1965. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober 1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai
Panglima Kopkamtib. Jabatan ini memberikan wewenang besar untuk melakukan
pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai pelaku G-30-S/PKI.
Naik ke kekuasaan
|
Kenetralan sebagian atau keseluruhan artikel ini dipertentangkan.
Silakan melihat pembicaraan di halaman diskusi artikel ini. |
Pergantian tampuk pimpinan
pemerintahan Indonesia. |
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Gerakan 30 September
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal
Kepresidenan, Tjakrabirawa di bawah
Letnan Kolonel Untung Syamsuri bersama
pasukan lain menculik dan membunuh enam orang jendral. Pada peristiwa itu
Jendral A.H. Nasution yang menjabat
sebagai Menteri Koordinator bidang Hankam dan Kepala Staf Angkatan Bersenjata
berhasil lolos. Satu yang terselamatkan, yang tidak menjadi target dari
percobaan kudeta adalah Mayor Jendral Soeharto, meski menjadi sebuah pertanyaan
apakah Soeharto ini terlibat atau tidak dalam peristiwa yang dikenal sebagai G-30-S itu. Beberapa
sumber mengatakan, Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat itu menyatakan bahwa
mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung oleh CIA yang direncanakan untuk menyingkirkan
Presiden Soekarno dari kekuasaan pada "Hari ABRI", 5 Oktober 1965
oleh badan militer yang lebih dikenal sebagai Dewan Jenderal.
Peristiwa ini
segera ditanggapi oleh Mayjen Soeharto untuk segera mengamankan Jakarta, menurut versi resmi sejarah pada masa
Orde Baru, terutama
setelah mendapatkan kabar bahwa Letjen Ahmad Yani, Menteri / Panglima Angkatan
Darat tidak diketahui keberadaannya. Hal ini sebenarnya berdasarkan kebiasaan
yang berlaku di Angkatan Darat bahwa bila Panglima Angkatan Darat berhalangan hadir,
maka Panglima Kostrad yang menjalankan tugasnya. Tindakan ini diperkuat dengan
turunnya Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yang
memberikan kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala
tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah yang diambil
Soeharto adalah segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun
sempat ditentang Presiden Soekarno, penangkapan sejumlah menteri yang diduga terlibat
G-30-S (Gerakan 30 September). Tindakan ini menurut pengamat internasional
dikatakan sebagai langkah menyingkirkan Angkatan Bersenjata Indonesia yang
pro-Soekarno dan pro-Komunis yang justru dialamatkan kepada Angkatan Udara
Republik Indonesia di mana jajaran pimpinannya khususnya Panglima Angkatan
Udara Laksamana Udara Omar Dhani yang dinilai
pro Soekarno dan Komunis, dan akhirnya memaksa Soekarno untuk menyerahkan
kekuasaan eksekutif. Tindakan
pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman
mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis
sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan
kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Soeharto dikatakan menerima dukungan CIA dalam penumpasan komunis. Diplomat
Amerika 25 tahun kemudian mengungkapkan bahwa mereka telah menulis daftar
"operasi komunis" Indonesia dan telah menyerahkan sebanyak 5.000 nama
kepada militer Indonesia. Been Huang, bekas anggota kedutaan politik AS di Jakarta mengatakan
di 1990 bahwa: "Itu merupakan suatu pertolongan besar bagi Angkatan
Bersenjata. Mereka mungkin membunuh banyak orang, dan saya kemungkinan memiliki
banyak darah di tangan saya, tetapi tidak seburuk itu. Ada saatnya di mana anda
harus memukul keras pada saat yang tepat." Howard Fenderspiel, ahli
Indonesia di State Department's Bureau of Intelligence and Research di
1965: "Tidak ada yang peduli, selama mereka adalah komunis, bahwa mereka
dibantai. Tidak ada yang bekerja tentangnya."1 Dia mengakhiri
konfrontasi dengan Malaysia dalam rangka
membebaskan sumber daya di militer.
Setelah
dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat pada 14 Oktober 1965, ia segera membubarkan PKI dan
ormas-ormasnya. Tepat 11 Maret 1966, dia menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno melalui
tiga jenderal, yaitu Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Yusuf. Isi Supersemar
adalah memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk dan atas nama
Presiden/Panglima Tertinggi/Panglima Besar Revolusi agar mengambil tindakan
yang dianggap perlu demi terjaminnya keamanan, ketenangan, serta kestabilan
jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Sehari kemudian, 12 Maret 1966,
Menpangad Letjen Soeharto membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai
terlarang di Indonesia.
Karena situasi
politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS pada
Maret 1967, Soeharto yang telah menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal
bintang empat pada 1 Juli 1966 ditunjuk sebagai pejabat presiden
berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku pemegang Ketetapan MPRS No
XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari
Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS, pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat
presiden sampai terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
Jenderal
Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pertanggungjawaban Presiden
Soekarno (NAWAKSARA) ditolak MPRS.
Kemudian, Soeharto menjadi presiden sesuai hasil Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No
XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga
merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Pada 1 Juni 1968 Lama. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru. Susunan
kabinet yang diumumkan pada 10 Juni 1968 diberi nama Kabinet Pembangunan
"Rencana Pembangunan Lima Tahun" I. Pada 15 Juni 1968, Presiden
Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden yang terdiri atas Prof Dr Widjojo
Nitisastro, Prof Dr Ali Wardhana, Prof Dr Moh Sadli, Prof Dr Soemitro
Djojohadikusumo, Prof Dr Subroto, Dr Emil Salim, Drs Frans Seda, dan Drs Radius
Prawiro.
Pada 3 Juli 1971, presiden mengangkat 100 anggota DPR
dari Angkatan Bersenjata dan memberikan 9 kursi wakil Provinsi Irian Barat
untuk wakil dari Golkar. Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai
politik, Soeharto dipilih kembali menjadi presiden oleh Sidang Umum MPR (Tap
MPR No IX/MPR/1973) pada 23 Maret 1973 untuk jabatan yang kedua kali. Saat ini,
Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendampinginya sebagai wakil presiden.
Pada usia 55
tahun, Soeharto memasuki masa pensiun dari dinas militer (Keprres No
58/ABRI/1974). Pencapaian puncak di dunia politik turut melengkapi kisahnya
hidupnya sebagai seorang penguasa. Setelah mencapai posisi pucuk di republik,
geliat kekuasaanya mulai menampakkan taringnya. Pada 20 Januari 1978, Presiden Soeharto melarang terbit
tujuh surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore. Beberapa di antaranya kemudian meminta maaf kepada
Soeharto.
Pada 22 Maret 1978, Soeharto dilantik kembali presiden
untuk periode ketiga kalinya dan Adam Malik sebagai wakil presiden. Sidang Umum
MPR 1 Maret 1983 memutuskan memilih kembali Soeharto sebagai presiden dan Umar
Wirahadikusumah sebagai wakil presiden. Melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR
mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia. Pada 16 Maret 1983, Presiden Soeharto mengumumkan susunan
Kabinet Pembangunan IV yang terdiri atas 21 menteri, tiga menteri koordinator,
delapan menteri muda, dan tiga pejabat setingkat menteri. Pada 1 Januari 1984, Presiden Soeharto mengisi formulir
keanggotaan Golkar dan sejak itu ia resmi menjadi anggota Golkar.
Beberapa
pengamat politik baik dalam negeri maupun luar negeri mengatakan bahwa Soeharto
membersihkan parlemen dari komunis, menyingkirkan serikat buruh dan
meningkatkan sensor. Dia juga
memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok dan menjalin hubungan dengan negara
barat dan PBB. Dia menjadi
penentu dalam semua keputusan politik.
Jendral
Soeharto dikatakan meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen
- Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen
Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih dari 200.000 ditangkap hanya karena
dicurigai terlibat dalam kudeta. Banyak komunis, tersangka komunis dan yang disebut
"musuh negara" dihukum mati (meskipun beberapa hukuman ditunda
sampai 1990).
Diduga bahwa
daftar tersangka komunis diberikan ke tangan Soeharto oleh CIA. Sebagai tambahan, CIA melacak nama dalam daftar ini ketika
rezim Soeharto mulai mencari mereka. Dukungan yang tidak dibicarakan ini dari Pemerintah Amerika Serikat untuk rezim Soeharto tetap diam sampai
invasi Timor Timur, dan terus
berlangsung sampai akhir 1990-an. Karena
kekayaan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia dihargai sebagai
rekan dagang Amerika Serikat dan begitu
juga pengiriman senjata tetapi dipertahankan ke rezim Soeharto. Ketika Soeharto
mengumjungi Washington pada 1995 pejabat administratif Clinton dikutip di New York Times mengatakan
bahwa Soeharto adalah "orang seperti kita" atau "orang golongan
kita".
Pada 12 Maret 1967 Soeharto diangkat sebagai Pejabat
Presiden Indonesia oleh MPR Sementara. Setahun kemudian, pada 27 Maret 1968 dia resmi diangkat sebagai Presiden
untuk masa jabatan lima tahun yang pertama. Dia secara langsung menunjuk 20%
anggota MPR. Partai Golkar menjadi partai
favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Indonesia juga menjadi salah satu pendiri ASEAN.
Ekonomi
Indonesia benar-benar amburadul di pertengahan 1960-an. Soeharto pun kemudian
meminta nasihat dari tim ekonom hasil didikan Barat yang banyak dikenal sebagai
"mafia Berkeley". Tujuan
jangka pendek pemerintahan baru ini adalah mengendalikan inflasi, menstabilkan
nilai rupiah, memperoleh hutang luar negeri, serta mendorong masuknya investasi
asing. Dan untuk satu hal ini, kesuksesan mereka tidak bisa dipungkiri. Peran Sudjono Humardani sebagai
asisten finansial besar artinya dalam pencapaian ini.
Di bidang
sosial politik, Soeharto menyerahkannya kepada Ali Murtopo sebagai asisten
untuk masalah-masalah politik. Menghilangkan oposisi dengan melemahkan kekuatan
partai politik dilakukan melalui fusi dalam sistem kepartaian.
Sebagai presiden
Gambar Presiden
Soeharto pada uang pecahan 50.000
Roma, Italia,
14 November 1985. Musim dingin yang membekap Kota Roma ketika itu turut
menggigit tubuh setiap peserta Konfrensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (FAO). Tidak kurang dari 165 negara anggota mengirimkan wakilnya ke
perhelatan yang membetot perhatian mata dunia terhadap Indonesia kala itu.
Presiden Soeharto yang sukses mengantarkan Indonesia dari pengimpor beras
terbesar di dunia menjadi swasembada didapuk maju ke podium untuk memberikan
pidatonya. Dia menyerahkan bantuan satu juta ton padi kering (gabah) dari para
petani untuk diberikan kepada rakyat Afrika yang mengalami kelaparan.
“Jika
pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, itu merupakan kerja raksasa
dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto dalam pidatonya. Karena
itu, FAO mengganjar keberhasilan itu dengan penghargaan khusus berbentuk medali
emas pada 21 Juli 1986. Prestasi Soeharto di bidang pertanian memang fantastik
atau dahsyat. Indonesia mengecap swasembada besar mulai 1984. Produksi besar
pada tahun itu mencapai 25,8 juta ton. Padahal, data 1969 beras yang dihasilkan
Indonesia hanya 12,2 juta ton. Hasil itu memaksa Indonesia mengimpor beras
minimal 2 juta ton.
Sebab itu, pada
10 Maret 1988, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden oleh MPR yang kelima
kalinya. Posisi wakil presiden diserahkan kepada Sudharmono. Sekali lagi, mata
dunia tertuju lagi kepada seorang Soeharto. Karena sukses dalam pelaksanaan
program kependudukan dan keluarga berencana, Presiden Soeharto mendapat piagam
penghargaan perorangan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New
York pada 8 Juni 1989. “Kenaikan produksi pangan tidak banyak berarti jika
pertambahan jumlah penduduk tidak terkendali,” tandas Soeharto.
Dia dianugerahi
UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan.
Penghargaan itu disampaikan langsung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Javier de
Cueller di Markas Besar PBB, New York bertepatan dengan ulang tahun Soeharto
yang ke-68 pada 8 Juni 1989. Soeharto makin dilirik ketika berhasil menegakkan
harkat bangsa Indonesia di latar ekonomi Asia. Di ASEAN, dia dianggap berjasa
ikut mengembangkan organisasi regional ini sehingga diperhitungkan di dunia.
“Tanpa kebaikan dan kehadiran Soeharto, kami akan menghabiskan banyak jatah
produk domestic bruto di bidang pertahanan,” ujar Perdana Menteri Australia
Paul Keating ketika itu. Paul Keating menyebut Soeharto sebagai “ayah”.
Dalam bukunya,
Soeharto; Political Biography, Robert Edward Elson menulis, “Soeharto adalah
tokoh yang amat penting selama abad XX di Asia.” Dua Presiden Amerika Serikat,
Richard Nixon dan Ronald Reagan juga memuji gebrakan Soeharto. Tetapi, Soeharto
mengklaim dirinya anak petani dengan nilai-nilai biasa yang tidak berambisi
menguasai negeri Indonesia dan mendahului kepentingan bangsa. “Saya di rumah,
di antara istri dan anak-anak merasa sebagai seorang biasa, hanya secara
kebetulan diberi kepecayaan oleh rakyat untuk memimpin negara ini sebagai
presiden,” tutur Soeharto dalam suatu temu wicara pada Peringatan Hari Ibu
ke-67 di Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur pada 22 Desember
1989.
Sebab itu, pada
14 September 1991, Presiden Soeharto menolak permintaan Amerika Serikat untuk
memperoleh pangkalan militer di Indonesia setelah pindah dari Filipina.
Soeharto dipilih oleh MPR sebagai presiden untuk yang keenam kalinya pada 10
Maret 1993. Kali ini, Try Sutrisno sebagai wakil presiden. Setelah enam kali
berturut-turut ditetapkan MPR sebagai presiden, Soeharto mulai menyatakan jika
dirinya tidak berambisi menjadi presiden seumur hidup (12 Maret 1994). Pada
kepemimpinannya periode ini, Presiden Soeharto memberhentikan Prof Dr Satrio
Budiharjo Joedono selaku Menteri Perdagangan sebelum akhir masa jabatan (6
Desember 1995).
Soeharto yang
mengawali kekuasaannya sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 dan menjadi
presiden pada 27 Maret 1968 terus menggenggam jabatan itu selama 31 tahun.
Semula ada yang memperkirakan bahwa Soeharto akan menolak pencalonannya kembali
sebagai presiden untuk periode yang keenam pada tahun 1998 setelah istrinya meninggal
dunia pada 28 April 1996. Perkiraan itu ternyata keliru. Ketika usianya
mencapai 75 tahun, ia bukan saja bersedia untuk dicalonkan kembali tetapi
menerima untuk diangkat kembali sebagai presiden untuk periode 1998-2003. Ia
menerima penganugerahan Bintang Lima atau Pangkat Jenderal Besar saat berusia
76 tahun (39 September 1997).
Pada 25 Juli
1996, Presiden Soeharto menerima PDI pimpinan Soerjadi dan menolak kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri untuk memimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Dua hari
kemudian terjadi peristiwa 27 Juli berdarah.
Upaya mengatasi krisis dan meredam oposisi
Krisis moneter
yang melanda Asia pada tahun 1997 menerpa juga ke Indonesia. Bahkan, krisis itu
menerjang juga sektor krisis ekonomi. Pada 8 Oktober 1997, Presiden meminta
bantuan IMF dan Bank Dunia untuk memperkuat sektor keuangan dan menyatakan
badai pasti berlalu. Presiden minta seluruh rakyat tetap tabah dalam menghadapi
gejolak krisis moneter (29 November 1997).
Di tengah
krisis ekonomi yang parah dan adanya penolakan yang cukup tajam, pada 10 Maret
1998, MPR mengesahkan Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya. Kali
ini, Prof Ing BJ Habibie sebagai wakil presiden. Pada 17 Maret 1998, ia
menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dan meminta
kerelaan para pejabat tinggi lainnya untuk menyerahkan gaji pokoknya selama
satu tahun dalam rangka krisis moneter.
Menghadapi
tuntutan untuk mundur, pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi
akan dipersiapkan mulai tahun 2003. Ketika di Mesir pada 13 Mei 1998, Presiden
Soeharto menyatakan bersedia mundur kalau memang rakyat menghendaki dan tidak
akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Sebelas menteri
bidang ekonomi dan industri (ekuin) Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri
(20 Mei 1998). Krisis moneter dan ekonomi benar-benar menggerogoti sistem
kepemimpinannya. Dampaknya, Soeharto tidak bisa bertahan di pucuk kepemimpinan
negeri.
Hanya berselang
70 hari setelah diangkat kembali menjadi presiden untuk periode yang ketujuh
kalinya, Soeharto terpaksa mundur dari jabatannya sebagai presiden. Presiden
Soeharto lengser tepat 21 Mei 1998. Tepat pukul 09.00 WIB (Waktu Indonesia
Barat), Soeharto berhenti dari jabatannya sebagai presiden. Layar kaca televisi
saat itu menyiarkan secara langsung detik per detik proses pengunduran dirinya.
Tanggal 12-20
Mei 1998 menjadi periode yang teramat panjang. Bagaimanapun, masa-masa itu
kekuasaannya semakin tergerus oleh berbagai aksi dan peristiwa. Aksi mahasiswa
menyebar ke seantero negeri. Ribuan mahasiswa menggelar aksi keprihatinan di
berbagai tempat. Mahasiswa Trisakti, Jakarta mengelar aksinya tidak jauh dari
kampus mereka. Peserta aksi mulai keluar dari halaman kampus dan memasuki jalan
artileri serta berniat datang ke Gedung MPR/DPR yang memang sangat stategis.
Tanggal 12 Mei 1998 sore, terdengar siaran berita meninggalnya empat mahasiswa
Trisakti.
Sehari
kemudian, tanggal 13 Mei 1998, jenasah keempat mahasiswa yang tewas
diberangkatkan ke kediaman masing-masing. Mahasiswa yang hadir menyanyikan lagu
Gugur Bunga. Tewasnya para mahasiswa disiarkan secara luas melalui pemberitaan
radio, televise, dan surat kabar. Tewasnya keempat mahasiswa seakan sebagai ledakan
suatu peristiwa yang lebih besar. Kamis, 14 Mei 1998, ibukota negara (Jakarta)
dilanda kerusuhan hebat. Tanggal 15 Mei 1998, pesawat yang membawa Presiden
Soeharto dan rombongan mendarat menjelang pukul 05.00 WIB pagi di pangkalan
udara utama TNI AU Halim Perdanakusuma dari kunjungan ke Kairo, Mesir untuk
mengikuti Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 15 (Group 15/G-15).
Tanggal 16 Mei
1998, Presiden mengadakan serangkaian pertemuan termasuk berkonsultasi dengan
unsure pimpinan DPR. Tanggal 17 Mei 1998, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya
Abdul Latief mengajukan surat pengunduran diri sebagai menteri. Tanggal 18 Mei
1998, ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Aksi tersebut berakhir
seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Mereka yang
tewas adalah dua mahasiswa angkatan 1995 dan dua mahasiswa angkatan 1996.
Angkatan 1995 terdiri dari Hery Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan
Mesin) dan Hafidhin Alifidin Royan (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin).
Sedang, mahasiswa yang tewas angkatan 1996 adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur) dan Hendriawan Sie (Fakultas
Ekonomi Jurusan Manajemen) .
Soeharto
membangun dan memperluas konsep "Jalan Tengah"-nya Jenderal Nasution
menjadi konsep dwifungsi untuk
memperoleh dukungan basis teoritis bagi militer untuk memperluas pengaruhnya
melalui pejabat-pejabat pemerintahan, termasuk cadangan alokasi kursi di
parlemen dan pos-pos utama dalam birokrasi sipil. Peran dwifungsi ini adalah
peran militer di bidang politik yang permanen.
Sepak terjang
Ali Murtopo dengan badan inteligennya mulai mengancam Soeharto. Persaingan
antara Ali Moertopo dan Sumitro dipergunakan
untuk menyingkirkan Ali. Namun Sumitro pun segera ditarik dari jabatannya dan
kendali Kopkamtib dipegang
langsung oleh Soeharto karena dianggap potensial mengancam. Beberapa bulan
setelah peristiwa Malari sebanyak 12 surat kabar ditutup dan ratusan rakyat
Indonesia termasuk mahasiswa ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 1978 untuk mengeliminir gerakan
mahasiswa maka segera
diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa.
Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat.
Mulut pers pun
dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini
mengisyaratkan adanya restriksi atau peringatan mengenai isi pemberitaan
ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah
dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan
berdiri. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Kemudian pada
tahun 1979-1980 muncul sekelompok purnawirawan perwira tinggi angkatan
bersenjata dan tokoh-tokoh sipil yang dikenal kritis, yang tergabung dalam Petisi 50, mengeluarkan serial selebaran yang
mengeluhkan sikap politik pemerintah Orde Baru yang menjadikan Angkatan Darat sebagai
pendukung kemenangan Golkar, serta menuntut adanya reformasi politik. Sebagai
balasannya, pemerintah mencekal mereka. Kelompok ini pun gagal serta tak pernah
mampu tampil lagi sebagai kelompok oposisi yang efektif terhadap pemerintahan
Orde Baru.
Puncak Orde Baru
Pelantikan
Presiden Soeharto.
Pada masa
pemerintahannya, Presiden Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok
tugas dan tujuan pemerintah. Dia mengangkat banyak teknokrat dan ahli ekonomi
yang sebelumnya bertentangan dengan Presiden Soekarno yang cenderung bersifat
sosialis. Teknokrat-teknokrat yang umumnya berpendidikan barat dan liberal (Amerika Serikat) diangkat
adalah lulusan Berkeley sehingga
mereka lebih dikenal di dalam klik ekonomi sebagai Mafia Berkeley di kalangan
Ekonomi, Industri dan Keuangan Indonesia. Pada masanya, Indonesia mendapatkan
bantuan ekonomi dan keuangan dari negara-negara donor (negara-negara maju) yang
tergabung dalan IGGI yang
diseponsori oleh pemerintah Belanda. Namun pada tahun 1992, IGGI dihentikan oleh pemerintah
Indonesia karena dianggap turut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia,
khususnya dalam kasus Timor Timur pasca Insiden Dili. Peran IGGI
ini digantikan oleh lembaga donor CGI yang disponsori Perancis. Selain itu, Indonesia mendapat
bantuan dari lembaga internasional lainnya yang berada dibawah PBB seperti UNICEF, UNESCO dan WHO. Namun sayangnya, kegagalan manajemen
ekonomi yang bertumpu dalam sistem trickle down effect (menetes ke
bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir
kalangan serta buruknya manajemen ekonomi perdagangan industri dan keuangan
(EKUIN) pemerintah, membuat Indonesia akhirnya bergantung pada donor
Internasional terutama paska Krisis 1997. Dalam bidang
ekonomi juga, tercatat Indonesia mengalami swasembada beras pada tahun 1984. Namun prestasi itu ternyata tidak
dapat dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya. Kemudian kemajuan ekonomi
Indonesia saat itu dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat
dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara Industri Baru bersama dengan Malaysia, Filipina dan Thailand, selain Singapura, Republik
Tiongkok, dan Korea Selatan.
Di bidang
politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai
politik sehingga pada
masa itu dikenal tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam upayanya menyederhanakan
kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik masa presiden
Soekarno yang menggunakan sistem multipartai yang berakibat pada jatuh
bangunnya kabinet dan dianggap penyebab mandeknya pembangunan. Kemudian
dikeluarkannnya UU Politik dan Asas tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan
politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan
politik di mana muncullah istilah "mayoritas tunggal" di mana GOLKAR
dijadikan partai utama dan mengebirikan dua parpol lainnya dalam setiap
penyelenggaraan PEMILU. Berbagai ketidakpuasan muncul, namun dapat diredam oleh
sistem pada masa itu.
Seiring dengan
naiknya taraf pendidikan pada masa pemerintahannya karena pertumbuhan ekonomi,
muncullah berbagai kritik dan ketidakpuasan atas ketimpangan ketimpangan dalam
pembangunan. Kesenjangan ekonomi, sosial dan politik memunculkan kalangan yang
tidak puas dan menuntut perbaikan. Kemudian pada masa pemerintahannya, tercatat
muncul peristiwa kekerasan di masyarakat yang umumnya sarat kepentingan
politik, selain memang karena ketidakpuasan dari masyarakat.
Beberapa catatan atas tindakan represif Orde Baru
Presiden
Soeharto dinilai memulai penekanan terhadap suku Tionghoa, melarang penggunaan tulisan Tionghoa tertulis di berbagai material tertulis, dan
menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis.
Walaupun begitu, Soeharto terlibat persahabatan yang akrab dengan Lee Kuan Yew yang pernah
manjadi Perdana Menteri Singapura yang beretnis
Tionghoa.
Pada 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang
meluas melawan korupsi. Sebuah komisi
menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan
kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.
Dia memerintah
melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai
finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk
enam anaknya. Dia juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu
sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok nasionalis dan kemudian mendukung
unsur Islam.
Pada 1973 dia memenangkan jangka lima-tahun
berikutnya melalui pemilihan "electoral college". dan juga
terpilih kembali pada 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan
mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk
partainya sendiri, Golkar. Oleh karena
itu semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan, sementara partai-partai non-Islam
(Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.
Pada 1975, dengan persetujuan bahkan permintaan Amerika Serikat dan Australia, ia memerintahkan pasukan Indonesia
untuk memasuki bekas koloni Portugal Timor Timur setelah
Portugal mundur dan gerakan Fretilin memegang kuasa yang menimbulkan
kekacauan di masyarakat Timor Timur Sendiri, serta kekhawatiran Amerika Serikat
atas tidakan Fretilin yang menurutnya mengundang campur tangan Uni Soviet.
Kemudian pemerintahan pro integrasi dipasang oleh Indonesia meminta wilayah
tersebut berintegrasi dengan Indonesia. Pada 15 Juli 1976 Timor Timur menjadi provinsi Timor
Timur sampai wilayah tersebut dialihkan ke administrasi PBB pada 1999.
Korupsi menjadi
beban berat pada 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah
kelompok yang kemudian lebih dikenal dengan nama Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih
besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik, dan
mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mecekal
penandatangannya. Setelah pada 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto
menciptakan negara satu partai, beberapa
pemimpinnya dipenjarakan.
Catatan hak asasi
manusia Soeharto juga
semakin memburuk dari tahun ke tahun. Pada 1993 Komisi HAM PBB membuat resolusi yang mengungkapkan keprihatinan yang
mendalam terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia dan di Timor
Timur. Presiden AS Bill Clinton mendukungnya.
Pada 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai
resmi. Di bulan Juni, pendukung Megawati menduduki markas besar partai
tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan pecah di Jakarta pada tanggal 27 Juli 1996 (peristiwa Sabtu Kelabu) yang dikenal
sebagai "Peristiwa Kudatuli" (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).
Kejatuhan Presiden Soeharto
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kejatuhan Soeharto
Foto Resmi
Presiden Soeharto terakhir (1998)
Pada 21 Mei
1998, setelah tekanan politik besar dan beberapa demonstrasi, Presiden Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya di televisi.
Wikisumber
memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:
|
Pada 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30%
dari dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi
pemerintahan Presiden Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang
juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF.
Meskipun sempat
menyatakan untuk tidak dicalonkan kembali sebagai Presiden pada periode 1998-2003, terutama pada acara Golongan Karya,
Soeharto tetap memastikan ia terpilih kembali oleh parlemen untuk ketujuh kalinya di Maret 1998. Setelah
beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik dan militer, serta berpuncak
pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, Presiden Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998 untuk menghindari perpecahan dan
meletusnya ketidakstabilan di Indonesia. Pemerintahan dilanjutkan oleh Wakil
Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie.
Dalam
pemerintahannya yang berlangsung selama 32 tahun lamanya, telah terjadi
penyalahgunaan kekuasaan termasuk korupsi dan pelanggaran HAM. Hal ini merupakan salah satu faktor
berakhirnya era Soeharto. Namun, Michel Camdesus, Direktur IMF mengakui bahwa
apa yang dilakukan IMF di Indonesia
tidak lain sebagai katalisator jatuhnya Pemerintahan Soeharto. Sebagaimana
dikutif New York Times, Camdesus menyatakan “we created the conditions that
obliged President Soeharto Left his job"[8].
Di Credentials
Room, Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Presiden Soeharto
membacakan pidato yang terakhir kali, demikian:
“
|
Sejak beberapa waktu terakhir,
saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional kita, terutama
aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap
aspirasi tersebut dan terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu
dilaksanakan secara tertib, damai, dan konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan
kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional, saya telah
menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet
Pembangunan VII. Namun, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite
Reformasi tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang
memadai terhadap rencana pembentukan komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi. Dengan memperhatikan keadaan di atas, saya berpendapat sangat sulit bagi saya untuk dapat menjalankan tugas pemerintahan negara dan pembangunan dengan baik. Oleh karena itu, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan secara sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998. Pernyataan saya berhenti dari jabatan sebagai Presiden RI saya sampaikan di hadapan saudara-saudara pimpinan DPR dan juga adalah pimpinan MPR pada kesempatan silaturahmi. Sesuai Pasal 8 UUD 1945, maka Wakil Presiden RI, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden/Mandataris MPR 1998-2003. Atas bantuan dan dukungan rakyat selama saya memimpin negara dan bangsa Indonesia ini saya ucapkan terima kasih dan minta maaf bila ada kesalahan dan kekurangan-kekurangannya semoga bangsa Indonesia tetap jaya dengan Pancasila dan UUD 1945. Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VII demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI. |
”
|
Gambar dari
majalah Malaysia yang membuat liputan berita mengenai kemangkatan Soeharto.
Sesaat
kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof. Dr.
Ing. BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi
memangku jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan
Presiden Soeharto, pimpinan dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri
serta siapa saja yang turut dalam pengucapan sumpah jabatan presiden ketika
itu.
Tak berselang
terlalu lama, Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima ABRI Jenderal TNI
Wiranto membacakan pernyataan sikap, demikian: pertama, memahami situasi yang
berkembang dan aspirasi masyarakat, ABRI mendukung dan menyambut baik
permintaan berhenti Bapak Soeharto sebagai Presiden RI serta berdasarkan
konstutusi mendukung Wakil Presiden Bapak BJ Habibie sebagai Presiden RI.
Kedua, ABRI
yang tetap kompak dan satu berharap dan mengajak kepada seluruh rakyat
Indonesia untuk menerima kehendak pribadi Presiden Soeharto tersebut yang telah
sesuai dengan konstitusi, yakni Pasal 8 UUD 1945. Ketiga, dalam hal ini, ABRI
akan tetap berperan aktif guna mencegah penyimpangan dan hal-hal lain yang
dapat mengancam keutuhan bangsa.
Keempat,
menjunjung tinggi nilai luhur budaya bangsa, ABRI akan tetap menjaga
keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden/Mandataris MPR termasuk Bapak
Soeharto beserta keluarganya. Kelima, ABRI mengajak semua pihak agar bersikap
tenang, mencegah terjadinya kerusuhan dan tindak kekerasan yang akhirnya akan
merugikan masyarakat sendiri.
Kasus dugaan korupsi
Artikel utama: Kasus dugaan korupsi Soeharto
Setelah
Soeharto resmi mundur dari jabatannya sebagai presiden, berbagai elemen
masyarakat mulai menuntut agar digelar pengusutan dan pengadilan atas mantan
presiden yang bekuasa paling lama di Indonesia itu. Pada 1 September 1998, tim
Kejaksaan Agung mengumumkan adanya indikasi penggunaan uang yayasan di bawah
pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Melalui Televisi Pendidikan Indonesia
(TPI) pada 6 September 1998, Soeharto
muncul dan menyatakan bahwa dia tidak mempunyai kekayaan di luar negeri.
Jaksa Agung AM
Ghalib dan Menko Wasbang/PAN Hartarto menemuinya di Jalan Cendana (Jakarta)
untuk mengklarifikasi penyataan tersebut (21 September 1998). Pada 21 November 1998, Fraksi
Karya Pembangunan (FKP) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan mantan
Presiden Soeharto sebagai tahanan kota. Ini merupakan tindak awal pengusutan
harta dan kekayaan Soeharto yang diduga berasal dari Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme (KKN).
Pada 3 Desember 1998, Presiden
BJ Habibie menginstruksikan Jaksa Agung AM Ghalib segera mengambil tindakan
hukum memeriksa mantan Presiden Soeharto. Pada 9 Desember 1998, Soeharto
diperiksa tim Kejaksaan Agung di Kejaksaan Tinggi Jakarta sehubungan dengan
dana yayasan, program mobil nasional, kekayaan Soeharto di luar negeri, dan
kasus Tapos. Majalah Time melansir berita tentang kekayaan Soeharto di luar
negeri yang mencapai US$15 miliar (22 Mei 1999). Pada 27 Mei 1999, Soeharto menyerahkan surat kuasa
khusus kepada Jaksa Agung AM Ghalib untuk menelisik kekayaannya di Swiss dan
Austria, seperti diberitakan Majalah Time. Pada 2 Juni 1999, Soeharto mengadukan Majalah Time
ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atas tuduhan memfitnah pada
pemberitaannya. Soeharto menuntut ganti rugi sekitar 27 miliar dollar AS.
Soeharto
memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan
Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan
Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau
para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana
Mandiri.
Hasil
penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an
halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli,
berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan
jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan
perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[9]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi
Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah
mengeluarkan Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya
menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi
fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu
dikeluarkan Kejaksaan
Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak
sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.
Kasus perdata
Bagian ini membutuhkan pengembangan
|
Peninggalan
Bidang politik
Sebagai
presiden Indonesia selama lebih dari 30 tahun, Soeharto telah banyak
memengaruhi sejarah Indonesia. Dengan pengambil alihan kekuasaan dari Soekarno,
Soeharto dengan dukungan dari Amerika Serikat memberantas
paham komunisme dan melarang
pembentukan partai komunis. Dijadikannya Timor Timur sebagai
provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai
Fretilin (Frente
Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan
sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka.[Mei 2008] Hal ini telah mengakibatkan menelan
ratusan ribu korban jiwa sipil.[Mei 2008] Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa
pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya
menyebabkan pengambilan keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh
masyarakat Indonesia sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak
Senang".
Bidang kesehatan
Untuk
mengendalikan jumlah penduduk Indonesia, Soeharto memulai kampanye Keluarga Berencana yang menganjurkan setiap pasangan untuk memiliki
secukupnya 2 anak. Hal ini dilakukan untuk menghindari ledakan penduduk yang
nantinya dapat mengakibatkan berbagai masalah, mulai dari kelaparan, penyakit
sampai kerusakan lingkungan hidup.
Bidang pendidikan
Dalam bidang pendidikan Soeharto mempelopori proyek Wajib Belajar yang bertujuan meningkatkan rata-rata taraf tamatan
sekolah anak Indonesia. Pada awalnya, proyek ini membebaskan murid pendidikan
dasar dari uang sekolah (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) sehingga
anak-anak dari keluarga miskin juga dapat bersekolah. Hal ini kemudian
dikembangkan menjadi Wajib Belajar 9 tahun.
Kematian
Pada Tanggal 27
Januari 2008 Pukul 13.10 WIB, Soeharto meninggal dunia di Rumah Sakit
Pusat Pertamina Jakarta. Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden
Soeharto diberangkatkan dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta[10]. Ambulan yang mengusung jenazah Pak
Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan kerabat serta pengawal. Sejumlah
wartawan merangsek mendekat ketika iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju
Jalan Cendana, mengakibatkan seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang
jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut kedatangan iringan
kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian kendaraan yang membawa
jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana, sekitar pukul 14.55,
Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan beberapa menteri
yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan
pangan, menyempatkan
mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di Kantor Presiden, Jakarta,
Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas wafatnya
mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore
pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu
melayat ke Cendana.
Pemakaman
Jenazah mantan
presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cendana, Jakarta,
Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIB[11] menuju Bandara Halim Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara
Halim Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB
untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri Bangun, Solo, Senin (28/1).
Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum
diturunkan ke liang lahad pada pukul 12.15 WIB[12] bersamaan dengan berkumandangnya adzan
dzuhur. Almarhum sudah berada di liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara
pemakaman Soeharto tersebut dipimpin oleh inspektur upacara Susilo Bambang Yudhoyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar