Selasa, 02 Agustus 2016

pentingnya Retorika



PENGERTIAN DAN PENTINGNYA RETORIKA (SENI BERBICARA)

PENGERTIAN DAN PENTINGNYA RETORIKA (SENI BERBICARA)
Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami (talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat.  Ber-retorika juga harus dapat dipertanggungjawabkan disertai pemilihan kata dan nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang dihadapi.
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran , kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata – kata yang tepat, benar dan mengesankan. Ini berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk mengefektifkan waktu dan sebagai tanda kepintaran ; dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek ? dalam konteks ini sebuah pepatah cina mengatakan ,”orang yang menembak banyak, belum tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan mencontoh para rektor atau tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan mempergunakan hukum – hukum retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. Dalam seni berbicara dituntut juga penguasaan bahan dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa.

Retorika sebagai Seni Berbicara
Berbicara merupakan alat komunikasi paling efektif dan efesien. Persoalan berbicara tak dapat dilepaskan sejak sejarah manusia mulai diperkenalkankan. Bahkan Allah SWT memiliki sifat kalam artinya Maha Berfirman. Itulah sebabnya Nabi Musa ketika lidahnya kurang begitu fasih berbicara, maka Allah membimbing dia dengan seubua doa : rabbis rahli shadri wayassirli amri wahlul uqdatam millisani yafqahu qauli (QS. Thaha (20) :
Imam al-Akhdlariy menyebutkan bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia itu disebut hayawanun nathiqun artinya “binatang yang pandai berbicara”[1] meskipun secara etika sepertinya terlalu berani beliau menyebut manusia dengan binatang. Demikian pula orang-orang yang mampu mengubah sejarah peradaban dunia, mereka itu pada umumnya sangat piawai dalam mengolah kata dan bermain kalimat. Mulai dari para filusuf Yunani seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato. Sampai dengan para politikus, dan negarawan seperti Hitler, Musolini, Thomas Aquinas, Montesqueu, hingga negarawan kita yang cukup mahir dalam berorator seperti Bung Karno dan Bung Tomo.
Kita juga tentu sering tertegun menyimak pembicaraan para da’i kondang, seperti KH. Zaenuddin MZ, Aa Gym, Ust. Jepri Al-Bukhari, dan Ust. Arifin Ilham. Mereka memiliki karakter gaya bicara yang berbeda dan pendengar akan terlena dalam buaian kata-kata indah mereka. Kesimpulannnya adalah bahwa berbicara yang baik dan bermakna akan mengandung kekekuatan spiritual tersendiri.
Berbahasa Indonesia yang baik merupakan bagian identitas bangsa. Seyogyanya berbicara yang baik dan benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baku harus dapat disosialisasikan oleh para publik figur, selebritis, di negeri ini. Pada era orde baru tampaknya justru yang merusak kaidah bahasa Indonesia adalah orang nomor satu di Indonesia. Indikasi “pengrusakkan” kaidah bahasa Indonesia era sekarang kiranya didominasi oleh bahasa iklan di media masa. Dalam hal ini perlu diadakan aturan main dalam memproduksi bahasa sebuah iklan, agar tidak merusak tatanan kaidah yang sudah baku.
Penggunaan bahasa dan isitilah asing yang diadopsikan ke dalam bahasa Indonesia seharusnya dibatasi. Kalau tidak bisa disederhanakan oleh si pembicara sebaiknya tidak perlu diucapkan. Akan tetapi justru gejala ini dibuat sengaja oleh orang-orang yang masih setengah-setengah mengenyam pendidikan tinggi. Atau demi gengsi-gengsian mereka berbicara yang sok ilmiah. Ironisnya, justru mereka sendiri tidak mengerti apa sebenarnya isi pembicaraannya.
Sya’ir-sya’ir lagu, bahasa iklan, bahasa dialog sinetron/film (dengan tanpa mengurangi kebebasan berekspresi) sebaiknya selalu memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Para calon pejabat dan pemimpin negara sebaiknya ditatar dulu bagaimana berbahasa Indonesia yang baik. Sehingga tidak terjadi pemubadziran anggaran negara untuk mengadakan kongres bahasa Indonesia. Di satu sisi keputusan kongres di keluarkan, di sisi lain pola berbicara para pejabat masih tetap pada pola lama.
Sepanjang sejarah, kongres bahasa Indonesia itu sudah sering dilaksanakan. Sehingga yang disebut dengan EYD entah akan berapa kali lagi akan disempurnakan. Barangkali akan lebih monumental jika gramatikal bahasa Indonesia itu secara resmi diundangkan. Dengan segala implikasinya, layaknya sebuah undang-undang (lengkap dengan sanksi hukum, jika ada penyalahgunaan istilah atau lainnya). Berbeda sekali dengan gramatikal bahasa Inggris, di mana sejak abad IV sampai sekarang tetap sama. Demikian pula dengan gramatikal bahasa Arab, sejak al-Qur’an diturunkan XV abad yang silam, hingga sekarang masih tetap utuh.
Lalu, ada apa dengan tata bahasa Indonesia ? Mengapa selalu berubah-ubah ?. Hal ini didak lain disebabkan karena kuatnya pengaruh suhu politik. Contohnya, setiap kali ganti mentri/ kabinet maka setiap kali ganti istilah. SMP jadi SLTP kembali lagi ke SMP, SMA jadi SMU kembali lagi ke SMA. Gelar sarjana untuk satu disiplin ilmu yang sama sampai sangat beragam. Akhirnya masyarakat awam yang dibikin bingung.
Pentingnya Seni Berbicara (Retorika)
Retorika dan Berbicara
Terkadang kita sering tidak sadar seberapa pentingkah berbicara dalam kehidupan kita. Banyak orang berbicara semaunya, seenaknya tanpa memikirkan apa isi dari pembicaraan mereka tersebut. Sebenarnya berbicara mempunyai artian mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi motivasi). Tapi sering kali kita mengalami kesulitan dalam mengungkapakan maksud dan isi pikiran kita kepada orang lain. Bahkan sering pula maksud yang kita sampaikan berbeda dengan yang ditangkap oleh pendengar.
Oleh karena itu berbicara sangatlah penting karena yang membedakan manusia dari hewan maupun makhluk lainnya adalah kesanggupan berbicara. Manusia adalah makhluk yang sanggup berkomunikasi lewat bahasa dan berbicara. Tetapi yang lebih mencirikan hakikat manusia sebagai manusia penuh adalah kepandaian dan keterampilan dalam berbicara. Pengetahuan bahasa saja belum cukup! Kebesaran dan kehebatan seseorang sebagai manusia juga ditentukan oleh kepandaiannya dalam berbahasa, oleh keterampilannya dalam mengungkapkan pikiran secara tepat dan meyakinkan. Seni keterampilan berbicara sering disebut dengan Retorika.
Quintilianus, seorang bapak ilmu retorika berkebangsaan Romawi mengatakan, “Hanya orang yang pandai bicara adalah sungguh-sungguh manusia.” Di dalam dunia musik ada lelucon yang berbunyi, “Bermain piano itu tidak sulit! Orang hanya menempatkan jari yang tepat, pada saat yang tepat, di atas tangga nada yang tepat.”
Lelucon dari dunia musik diatas juga dapat dikenakan ke dalam ilmu retorika : ”Berbicara itu sama sekali tidak sulit! Orang hanya harus mengucapkan kata-kata yang tepat, pada saat yang tepat, kepada pendengar yang tepat.”
Memang untuk terampil dalam berbicara tidaklah semudah itu.Untuk menjadi seorang yang pandai bicara, dibutuhkan latihan yang sistematis dan tekun. Sejarah sudah membuktikannya! Orang-orang kenamaan seperti : Demosthenes, Cicero, Napoleon Bonaparte, winston Churchill, Adolf Hitler, J.F Kennedy, Marthin Luther King adalah orang-orang yang menjadi retor terkenal lewat latihan tang teratur, sistematis dan tekun.
Lalu mengapa kita perlu mempelajari retorika? Sering orang mengatakan, ”Dia tahu banyak, hanya tidak dapat mengungkapkan dengan baik. Dia tidak dapat mengungkapkan pikirannya secara meyakinkan.” Sangatlah menyedihkan, apabila orang memiliki pengetahuan yang berguna, tetapi tidak dapat mengkomunikasikannya secara mengesankan dan meyakinkan kepada orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu contoh mengapa retorika itu perlu.
Jadi apakah sebenarnya retorika itu ?? Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik (Kunst, gut zu redden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Sekarang ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik , yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemapuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara.
Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan. Itu berarti kita harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. Jelas  supaya mudah dimengerti; singkat untuk mengefektifksn waktu dan sebagai tanda kepintaran; dan efektif karena apa gunanya kalau berbicara tidak membawa efek?
Dalam konteks ini sebuah pepatah Cina mengatakan, ”Orang yang menembak banyak belum tentu seorang penembak yang baik, dan Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Alasan untuk mempelajari retorika:
Quintilianus mengatakan : ”Tidak ada anugrah yang lebih indah, yang diberikan oleh para dewa, daripada keluhuran berbicara.”
St. Agustinus, yang juga seorang retor, mengatakan : ”Kepandaian berbicara adalah seni yang mencakup segala-galanya.”
Sebuah pepatah tua mengatakan, ”Berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal anda.”
Martin Luther berpendapat, ”Siapa yang pandai berbicara adalah seorang manusia; sebab berbicara adalah kebijaksanaan; dan kebijaksanaan adalah berbicara.”
Di atas selembar Papirus yang ditemukan di dalam sebuah makam tua di Mesir tertulis, ”Binalah dirimu menjadi seorang ahli pidato, sebab dengan tiu engkau akan menang.”
Lalu mengapa kita perlu belajar retorika? Mengapa kita mau menguasai ilmu pandai bicara?
Di dalam masyarakat umumnya dicari para pemimpin atau orang-orang berpengaruh, yang memiliki kepandaian di dalam hal berbicara. Juga di bidang-bidang lain seperti perindustrian, perekonomian dan bidang sosial, kepandaian berbicara atau keterampilan mempergunakan bahasa secara efektif sangat diandalkan.
Menguasai kesanggupan berbahasa dan keterampilan berbicara menjadi alasan utama keberhasilan orang-orang terkenal di dalam Sejarah Dunia seperti : Demosthenes, Socrates, J. Caesar, St. Agustinus, St. Ambrosius, Martin Luther, Martin Luther King, J.F Kennedy, Soekarno dan lain-lain.
Dalam Sejarah Dunia justru kepandaian berbicara atau berpidato merupakan instrumen utama untuk mempengaruhi massa. Bahasa dipergunakan untuk meyakinkan orang lain. Ketidakmampuan dalam mempergunakan bahasa,membuat ketidakjelasan dalam mengungkapkan masalah atau pikiran dapat membawa dampak negatif dalam hidup dan karya seorang pemimpin. Oleh karena itu, pengetahuan tentang retorika dan ilmu komunikasi yang memadai akan membawa keuntungan bagi pribadi bersangkuatan dalam beberapa bidang tertentu.
Banyak pria dan wanita dalam Sejarah memperoleh suskes besar dalam hidup dan kariernya sebagai pemimpin, berkat penguasaan ilmu retorika. Sebab penguasaan teknik berbicara akan mempertinggi kepercayaan terhadap diri dan memberi rasa  pasti kepada orang yang bersangkutan. Bagi para pemimpin, retorika adalah alat penting untuk mempengaruhi dan menguasai manusia. Bagi para penjual, kepandaian berbicara merupakan sarana penting untuk menjual-belikan barang dagangannya.
Barangsiapa yang menguasai ilmu retorika dan mempergunakannya secara wajar akan mendapat sukses dalam hidup dan karyanya !
Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul ‘Grullos’ atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
Dalam doktrin retorika Aristoteles [1] terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Aristoteles adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani dikenal Kaum Sophie yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang awam, pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku Kaum Sophie ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin teori, dan terkesan dangkal.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35). Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian, sedang retorika berurusan dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat yang sama dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu menggunakan premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata, melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas. Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya. Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada manusia itu sendiri.
Diposkan oleh Dwi Haryanto Hidayat di Kamis, September 01, 2011
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Retorika sebagai Proses Komunikasi
Definisi Komunikasi
Dalam kehidupan manusia proses komunikasi selalu dilakukan baik secara sadar maupun tidak sadar. Namun banyak orang yang mendefinisikan komunikasi hanya sebagai alat untuk berhubungan dengan satu sama lain. Komunikasi berasal dari kata latin cum yang berarti dengan, dan unus yang artinya satu dari kata bilangan. Kedua istiliah tersebut bergabung dan menjadi sebuah kata yaitu communio dan diartikan kedalam bahasa Inggris menjadi kata Cummunion yang memiliki arti kebersamaan, persatuan, ataupun hubungan. Kata communion kemudian berubah sifatnya menjadi kata kerja benda yaitu kata Communicatio atau dalam bahasa Inggris Communication, yang kemudian diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi kata Komunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai proses pertukaran informasi melalui sebuah media yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain dan kemudian menimbulkan sebuah pemahaman.
Dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi yang ditulis oleh Wiryanto, terdapat definisi yang didefinisikan oleh Berger and Chaffe (1983:17), “Communication science seeks to understand the production, processing and effect of symbol and signal system by developing testable theories containing lawful generalization, that explain phenomena associated with production, proccesing and effect” yang berarti Komunikasi adalah ilmu yang berusaha untuk memahami sebuah produksi, proses, dan efek dari sebuah simbol dan sinyal dengan mengembangkan teori-teori yang diuji menurut hukum generalisasi dan menjelaskan mengenai fenomena terhadap produksi, proses, dan efek. Artinya sebuah komunikasi harus terjadi dengan adanya product yang melingkupi pembicara dengan pendengar, proses yang  artinya peristiwa bagaimana terjadinya komunikasi tersebut, dan efek yang artinya hubungan timbal balik terhadap informasi yang disampaikan oleh penginformasi kepada pendengar.
Untuk lebih memahami definisi komunikasi, berikut beberapa definisi komunikasi menurut para ahli:
·                     Laswell, Komunikasi adalah proses yang menggambarkan siapa mengatakan dengan cara apa, kepada siapa dengan efek apa.
·                     Carl I Hovland, proses dimana seorang individu atau komunikator mengoperkan stimulan, biasanya dengan lamabang-lambang bahasa (verbal maupun nonverbal) untuk mengubah tingkah laku orang lain.
·                     John Fiskie (1990:1)Communication is one of those human activities that everyone recognizes but few can define satisfactorily.
·                     Edwin Emery, komunikasi adalah seni menyampaikan informasi, ide, dan sikap seseorang kepada orang lain.
·                     Gode sebagaimana yang dikutip Wiryanto (2004:6), “it is a procces that makes common to or several what was the monopoly of one or some.” Komunikasi adalah sebuah proses yang membuat kebersamaan bagi dua atau lebih yang di monopoly oleh seseorang atau lebih.
·                     Rudolph F. Verderber, dkk (2008:24)Communication as the procces of creating and sharing meaning, whether the context is informal conversation, group interaction, or public speaking.
·                     Turner (2008:5), Komunikasi adalah proses dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterprestasikan makna dalam lingkungan mereka.
Tommy Suprapto (2009:7), membagi pengertian Komunikasi berdasarkan tiga hal, yaitu pengertian secara etimologis, terminologis, dan pradigmatis.
1.            Secara Etimologis, komunikasi dipelajari berdasarkan asal-usul kata, yaitu komunikasi yang berasal dari bahasa latin “Communicatio” yang bersumber dari kata commnis yang berarti sama makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan.
2.            Secara Terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.
3.            Secara Paradigmatis, komunikasi berarti pola yang meliputi sejumlah komponen berkolerasi satu sama lain secara fungsional untuk mencapai tujuan tertentu. Contohnya seperti ceramah, kuliah, kotbah, diplomasi, dan sebagainya.
Proses Komunikasi
Dalam berkomunikasi, tentunya ada sebuah informasi yang akan kita sampaikan kepada seseorang. Informasi tersebut tentu akan sampai kepada orang lain jika sudah mengalami sebuah proses. Proses tersebut terdiri dari beberapa tahap, yaitu sumber, pesan, media, situsi, gangguan, penerima, dan reaksi (feedback).
1. Sumber (Source)
Pelaku adalah seorang individu atau kelompok yang akan menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain (penerima). Informasi yang di sampaikan bisa berupa verbal maupun nonverbal. Sebagai pengirim informasi, participants haruslah memberikan informasi yang bermutu kepada pendengar, sehingga apa yang disampaikan oleh pelaku akan di lakukan oleh pendengar. Karena sesuai dengan tujuan utama retorika, yaitu mempengaruhi pendengar sesuai dengan keinginan pelaku pengirim pesan.
Dalam meyampaikan sebuah informasi, sumber atau sender, terlebih dahulu harus memikirkan atau mengemas perkataan apa yang akan ia sampaikan. Istilah ini disebut dengan enconding. Dengan adanya enconding, pengirim atau pelaku, memikirkan informasi apa yang akan ia sampaikan. Kemudian infromasi tersebut ditransfer kedalam otak dan disampaikan kepada pendengar menjadi sebuah simbol atau lambang baik dalam bentuk kata-kata ataupun gerak-gerik. Dengan adanya encoding, pengirim juga dapat memikirkan bagaimana cara yang baik untuk dapat membuat pendengar mengerti dan memahami informasi yang sumber sampaikan.
2. Pesan (Massages)
Pesan atau ide yang disampaikan oleh pelaku dapat berupa pesan verbal ataupun nonverbal. Dalam penyampaian sebuah pesan atau informasi, tentunya tujuan utamanya adalah untuk membuat pendengar mempercayai apa yang sumber katakan. Dan tujuan pendengar adalah untuk mendapatkan sebuah berita. Untuk itu, ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam sebuah pesan berkomunikasi, yaitu makna, simbol, encod & decod.
·                     Makna dalam hal ini berarti dasar dari sebuah pemikiran. Maksudnya dalam menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain, pendengar tersebut minimal sudah mengetahui dasar dari hal yang akan ia sampaikan. Jika penerima/pendengar tidak memiliki dasar pengalaman mengenai makna tersebut, maka penyampaian berita atau informasi tersebut tidak akan tersampaikan dengan baik, dan bahkan bisa terjadi miss communication atau salah paham. Ini akan menjadi tugas yang berat bagi pengirim berita agar informasi tersebut bisa dipahami oleh penerima pesan. Karena itu akan lebih baik, jika kedua pihak memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai informasi yang akan disampaikan.
·                     Simbol dalam hal ini berupa kata-kata, bunyi, atupun tindakan terhadap sebuah informasi untuk mewakili sebuah gagasan/ide dan juga perasaan.
·                     Encoding & DecodingEncod adalah proses untuk merumuskan sebuah pesan baik dalam kata-kata maupun isyarat. Ecod digunakan oleh Pengirim atau Sumber (Sender or Source). Sedangkan Decod adalah proses untuk menafsirkan makna yang disampaikan oleh pengirim kepada penerima. Decod digunakan oleh penerima
3.  Media (Channels)
Dalam meyampaikan sebuah informasi, tentu ada sebuah media yang digunakan sebagai perantara untuk memperjelas penyampaian informasi tersebut. Media yang digunakan dalam penyampaian informasi ini pun beragam. Ada media lisan atau tertulis.
Media lisan; media yang disampaikan secara lisan baik langsung (melalui diri sendiri) maupun tidak langsung. Contoh media lisan secara tidak langsung dengan menggunakan telepon, atau videotape. Penggunaan Skype di zaman sekarang ini juga bisa menjadi sarana dalam berkomunikasi secara tidak langsung.
Keuntungan dari media lisan adalah:
·                     Mendapat tanggapan langsung ketika sedang berkomunikasi.
·                                             Memungkinkan untuk dapat melihat bagaimana ekspresi dari penerima ketika berkomunikasi, baik gerak-geriknya, suara, dan juga raut wajah penerima informasi.
·                                             Dapat dilakukan dengan cepat tanpa menunggu berhari-hari.
·                                             Media Tulisan; media berkomunikasi dengan menggunakan alat bantu dalam bentuk tulisan. Comtoh media ini adalah surat, memo, fax, telegram, brosur, note, gambar, grafik, dan lain-lain.
·                                             Keuntungan dari media tulis adalah:
·                                             Tanggapan dari berita yang kita sampaikan bisa di simpan.
·                                             Jika pengirim lupa akan tanggapan yang penerima sampaikan, pengirim bisa membuka kembali isi dari surat yang menjadi balasan tersebut
4. Situasi (Context)
Dalam beretorika, tentu kita harus memperhatikan situasi dan kondisi dalam berkomunikasi. Retorika yang kita sampaikan tentu akan berbeda kepada orang-orang di pedesaan dengan orang yang sudah memiliki pengetahuan dalam sebuah bidang. Penginfromasi tidak boleh menyamaratakan kondisi ketika berkomunikasi dengan semua pihak. Perhatikan situasi dan pendengarnya. Contohnya dalam berpidato dihadapan orang-orang yang memiliki pengetahuan dalam bidang tema yang disampaikan oleh orang yang berpidato. Tentu orang yang berpidato harus memiliki pengalaman yang lebih di banding dengan pendengar. Sebab dalam berkomunikasi atau beretorika, orang tersebut akan membagikan pengalamannya dengan pendengar. Jika orator tersebut menyampaikan informasi yang sudah diketahui banyak orang, maka kemungkinan situasi yang terjadi dalam pidato tersebut akan berlanngsung dengan tidak baik. Pendengar akan merasa bosan dengan penyampaian informasi yang disampaikan orator.
Kondisi berkomunikasi ketika sedang berpesta tentu akan berbeda ketika sedang rapat. Bahasa yang digunakan juga harus diperhatikan. Penggunaan bahasa Formal & Informal harus diterapkan dalam sebuah konteks. Dalam rapat, penggunaan bahasa yang seharusnya adalah menggunakan bahasa Formal, yaitu bahasa yang sesuai dengan EYD. Sedangkan dalam berpesta, bahasa yang digunakan akan lebih sederhana dan santai. Sangat aneh jika dalam rapat menggunakan bahasa yang informal, sedangkan ketika berpesta bahasa yang digunakan adalah bahasa formal. Reaksi orang-orang akan beragam ketika komunikasi tersebut tidak sesuai dengan konteks. Ada yang tertawa, ada yang menegur, ada pula yang diam namun ia bergumam dalam hati menyatakan bahwa komunikator tersebut tidak pandai dalam menyiasati penggunaan bahasa ketika berada di suatu tempat. Karena itu konteks (situasi dan kondisi) juga harus diperhatikan dalam berkomunikasi ataupun beretorika.
5. Gangguan (Noise)
Dalam berkomunikasi tidak jarang terjadi gangguan (noise). Kata noise berasal dari bahasa ilmu kelistrikkan yang menartikan bahwa suatu keadaan atas ketidaklancaran atau kurangnya ketetapan peraturan. Penggunaan kata-kata sukar dalam penyampaian informasi juga bisa menjadi salah satu penyebab gangguan tercapainya tujuan informasi tersebut. Selain kata-kata yang sulut dimengeri, ketidakjelasan dalam menyampaikan informasi juga bisa menjadi sebuah gangguan. Untuk itu, ada baiknya dalam menyampaikan informasi haruslah bersifat ekonomis dan informatif. Ekonomis artinya, penyampaian komunikasi tidak perlu panjang dan bertele-tele. Lebih baik singkat namun sifatnya jelas dan dimengerti pendengar. Informatif artinya sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh pendengar. Tidak bersifat fiktif.
Namun tidak jarang, gangguan yang terjadi dalam komunikasi berasal dari audience atau pendengar. Hal ini didasarkan pada sifat psikologis (Tommy 2009:15), yaitu:
·                     Selective attention. Maksudnya pendengar sesungguhnya tidak ingin mendengar informasi atau pidato yang disampaikan oleh orator. Tentu hal ini akan menjadi masalah dalam penyampaian informasi.
·                     Selective perception. Maksudnya, pendengar cenderung memikirkan makna yang disampaikan oleh orator sesuai dengan apa yang ia pahami. Namun ternyata pemahamannya tidak sesuai dengan kebenaran atau keinginan yang disampaikan oleh orator. Hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi
·                     Selective retention. Maksudnya, pendengar memahami makna yang disampaikan oleh orator. Namun pendengar cenderung berpikir mengenai apa yang ia inginkan. Contohnya, seorang pemakai narkoba di beri pengarahan akan bahayanya penggunaan narkoba, untuk itu ia disuruh berhenti menggunakan barang haram tersebut. Namun karena dipikirannya adalah kenikmatan dalam menggunakan narkoba, maka ia tidak memperdulikan perkataan orator akan bahaya narkoba. Hal ini menjadi sebuah masalah dalam penyampaian informasi.
Ada empat jenis gangguan dalam berkomunikasi, yaitu gangguan semantik, gangguan fisik (eksternal), gangguan psikologis, dan juga gangguan fisiologis.
• Gangguan Semantik (Semantic Noise)
Gangguan semantik adalah gangguan berdasarkan pengaruh linguistik dalam penyampaian pesan. Biasanya berupa kata-kata dalam bahasa bidang tertentu, seperti bahasa di bidang kedokteran yang disampaikan kepada orang-orang yang tidak memiliki pemahaman akan bidang tersebut.
• Gangguan Fisik (Eksternal)
Gangguan ini berasal dari kondisi fisik. Contohnya orang yang sedang sakit disuruh fokus dalam mendengarkan sebuah pesan. Maka secara fisik orang tersebut tidak dapat menerima isi pesan yang disampaikan dengan baik.
• Gangguan Psikologis
Gangguan ini sama seperi gangguan yang dijelaskan sebelumnya, yaitu gangguan selective attention, selective perception, dan selective  retention.
• Gangguan Fisiologis
Gangguan Fisiologis adalah gangguan yang bisa terjadi ketika merasa sakit, lapar atau lelah.
6. Penerima (Receiver)
Setelah mendapatkan pesan dari pengirim (Sender), maka penerima harus memahami isi pesan tersebut. Isi pesan tersebut dipahami dengan istilah decoding. Pesan Verbal maupun Nonverbal yang disampaikan oleh orator kemudian dipahami oleh penerima. Hal ini dapat memberikan nilai positif untuk pendengar, yaitu bertambahnya pengetahuan atau wawasan berdasarkan pesan yang disampaikan oleh orator.
7. Umpan Bailik (Feedback)
Umpan balik adalah tanggapan penerima berdasarkan pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan. Tanggapan tersebut dapat berupa tanggapan verbal atau nonverbal. Selain bentuk tanggapan dari tersebut, ada juga tanggapan dari segi positif atau negatif (Agus 2003:18). Tanggapan tersebut akan bersifat positif apabila penerima menyetujui isi pesan yang disampaikan. Sedangkan tanggapan yang sifatnya negatif adalah pesan yang tidak disetujui oleh recevier.
Bentuk-Bentuk Komunikasi
Dalam penyampaian pesan, terdapat bentuk-bentuk dari komunikasi. Bentuk-bentuk ini lebih didasari dari jumlah recevier dan forum penyampaian informasi tersebut.
1. Intrapersonal Communication
Intrapersonal Communication adalah bentuk komunikasi yang dikaji dari segi psikologis. Kenapa dikaji dari segi psikologis? Karena interpersonal communication adalah bentuk komunikasi dengan diri sendiri yang berlangsung dipikiran komunikator. Komunikasi ini tentunya dikendalikan oleh diri sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Verderber (2008:9), “When you send your self a reminder note as an e-mail or text messege, you are communication interpersonally
2. Interpersonal Communication
Interpersonal Communication adalah komunikasi yang berlangsung antara dua individu. Dalam buku Wiryanto, dijabarkan definisi dari interpersonal Communication dari beberapa pakar, seperti Bittner (1985:10) yang mengatakan bahwa komunikasi antarpribadi berlangsung antara dua, tiga orang, atau mungkin empat orang yang terjadi secara spontan dan tidak berstrukur.
Ciri-ciri dari komunikasi interpersonal communication ini sebagaimana yang dikutip Wiryanto (2004) dari Barnlund.
Ciri-ciri tersebut adalah:
·                     Bersifat spontan;
·                     Tidak mempunyai struktur;
·                     Terjadi secara kebetulan;
·                     Tidak mengejar tujuan yang direncanakan;
·                     Identitas keanggotaannya tidak jelas;
·                     Dapat terjadi hanya sambil lalu.
Selain ciri-ciri dari bentuk komunikasi antarpribadi tersebut, terdapat pula ciri-ciri dari efektivitas komunikasi antarpribadi. Hal ini seperti yang dikutip Wiryanto (2004:36) dari Kumar (2000: 121-122)
·                     Keterbukaan (openess). Kemauan untuk menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi;
·                     Empati (emphaty). Merasakan apa yang dirasakan orang lain;
·                     Dukungan (supportiveness). Situasi terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung secara efektif;
·                     asa positif (positiveness). Seseorang harus memiliki rasa positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif  berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi efektif.
·                     Kesetaraan (equality). Pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.
3. Komunikasi Kelompok
Bentuk komunikasi ini melibatkan sebuah organisasi. Dalam hal ini, seseorang akan mendapat pengalaman yang lebih jika mampu beretorika dalam sebuah organisasi. Misalnya seorang mahasiswa yang tidak berani mengungkapkan ide/gagasannya di dalam kelas didepan teman-temannya dan dihadapan dosen, maka ia dapat berlatih untuk melancarkan kepercayaan dirinya didepan anggota organisasinya. Karena di dalam sebuah organisasi, seseorang akan lebih merasa nyaman mengungkapan gagasannya didepan orang yang lebih tua seperi berbicara kepada dosen.
Selain itu orang yang memiliki atau berpartisipasi di dalam sebuah organisasi, maka ia akan medapat lebih banyak relation. Sebuah hubungan yang baik antarsesama akan sangat penting untuk dibentuk, apalagi meningat manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup secara sendiri.
4. Komunikasi Kelompok Kecil
Bentuk dari komunikasi kelompok kecil dilihat berdasarkan jumlah anggotanya. Umunya jumlah anggota dari kelompok ini melibatkan tiga sampai dua puluh anggota, dan tidak boleh lebih dari lima puluh orang. Biasanya hal yang dibahas dari kelompok ini lebih ringan seperti masalah rancangan kebijakan dalam kelompok tersebut.
5. Public Communication
Bentuk komunikasi ini berlangsung antara satu orang dengan orang lain. Namun dalam forum terbuka yang jumlah pendengarnya lebih dari dua puluh orang. Di dalam bentuk komunikasi ini, speaker (seseorang yang menjadi sumber dan berbicara di depan publik) harus bertanggung jawab atas apa yang ia sampaikan dan mengorganisasi ide yang akan disampaikan. Dalam hal ini retorika akan sangat berperan penting dalam proses penyampaian pesan kepada pendengar, sebab tujuan speaker sebenarnya adalah untuk mempengaruhi pendengar seusai dengan apa yang pembicara katakan. Dalam forum ini, dapat terjadi sesi tanya jawab antara speaker/pembicara dengan pendengar.
6. Mass Communication
Mass Communication atau dalam bahasa Indonesia adalah komunikasi masa. Bentuk dari komunikasi ini dengan menggunakan media. Komunikasi ini terjadi secara tidak langsung dari pengirim kepada si penerima. Media yang digunakan berupa media cetak seperti majalah dan surat kabar, dan media elektronik seperti televisi dan radio.
Ciri-ciri dari komunikasi masa:
·                     Berlangsung satu arah; Dalam komunikasi masa, umpan balik atau feed back baru akan diperoleh setelah komunikasi berlangsung.
·                     Komunikator pada komunikasi massa melembaga; Informasi yang disampaikan melalui media massa merupakan produk bersama. Seorang komunikator dalam media masa bertindak atas nama lembaga dan nyaris tidak memiliki kebebasan individual. Oleh sebab itu, komunikatornya melembaga. Lebih dari itu, karena pesan-pesan yang disebarkan melalui media massa merupakan hasil kerja sama, maka komunikatornya di sebut juga dengan collective comunicator.
·                     Pesan-pesan bersifat umum. Pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikan kepada audience  haruslah bersifat umun yang artinya untuk orang banyak. Hal ini dikarenakan dalam komunikasi masa, media yang digunakan dalam penyampaian pesan sifatnya lebih umum. Semua orang dapat melihat dan mendengar informasi yang disampaikan oleh komunikan.
·                     Melahirkan keserempakan.  Ketika seseorang beretorika, maka tujuan dari tindakan yang ia lakukan adalah untuk mempersuasi para pendengar. Begitu juga dengan berkomunikasi. Terlebih proses komunikasi masa ini dilakukan dengan sebuah media, seperti media cetak dan media elektronik. Dengan menggunakan media seperti ini, maka akan lebih banyak orang yang mendengar pesan yang akan disampaikan oleh komunikan. Dengan begitu, akan lahirlah sebuah tindakan yang dilakukan secara serempak atau secara bersamaan oleh masyarakat. Terlebih lagi, jika informasi yang disampaikan tersebut di sampaikan di negara-negara maju yang pada saat yang sama paling tidak dibaca oleh kurang lebih satu juta pembaca. Karena itulah, tidak salah jika salah satu ciri dari komunikasi masa ini adalah melahirkan keserempakan dalam melakukan sebuah tindakan.
·                     Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Ide atau gagasan harus di konsepkan dengan baik dan benar-benar mempersiapakan semua hal yang akan menjadi bahan dalam penyampaian pesan sebaik mungkin sebelum di publikasikan.
Syarat Terjadinya Komunikasi
Ada empat factor yang menjadi prasyarat terjadinya suatu proses komunikasi, yaitu:
·                     ► Komunikator (K),  adalah orang atau pribadi yang mengatakan, mengucapkan atau menyampaikan sesuatu.
·                     ► Warta, pesan, informasi (I), yaitu aoa yang diucapkan: apa yang disampaikan.
·                     ► Resipiens (R), adalah orang yang mendengar atau menerima apa yang diucapkan; apa yang disampaikan.
·                     ► Medium (M), adalah tanda yang dipergunakan oleh komunikator untuk menyampaikan warta atau pesan.
Agar komunikasi berjalan dengan lancar maka ada baiknya antara komunikator dengan resipens telah terjalin sebuah pemahaman dan pembendaharaan makna yang dimiliki keduanya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Ketika komunikator ingin menyampaikan sebuah pesan kepada orang lain (resipiens), maka hal yang ada dalam pikiran si komunikator tersebuut harus di terjemahkan kedalam kode-kode yang dapat dimengerti oleh resipiens. Resipiens menagkap pesan dan mengkodefikasikan makna yang disampaikan komunikator, kemudian resipiens menerjemahkannya ke dalam pemahaman dan pengertian si resipiens.
Jadi, komunikasi adalah saling hubungan antara komunikator dan resipiens, dimana komunikator menyampaikan suatu pesan kepada resipiens melalui medium untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Retorika Sebagai Proses Komunikasi
Di contohkan : Sebuah mobil dijual. Pemilik mobil tentu ingin menjual dengan harga yang memuaskan (tujuan). Dalam pembicaraan dengan calon pembeli, penjual tentu tidak hanya menjelaskan merk, tahun keluaran, tipe, dan ciri khas mobil, tetapi dia juga pasti akan memuji-muji mobil tersebut. Misalnya terpelihara dengan baik, bentuknya sangat cocok dengan keadaan jalan dan tudak pernah terjadi kecelakaan. Singakatnya : mobil bekas yang paling ideal, yang apabila dibandingkan dengan harga, sebenarnya masih terlalu murah !
Di lain pihak calon pembeli juga ingin membeli mobil tersebut dengan harga yang murah (tujuan). Oleh karena itu terjadi tawar menawar dalam perdagangan, dimana penjual dan pembeli saling beragumentasi untuk mencapai tujuannya masing-masing.
Dari contoh diatas dapat dilihat aspek-aspek retoris sebagai berikut :
·                      Seorang pembicara, menyampaikan kepada pelanggan;
·                      Seorang pendengar sebagai kawan bicara atau pelanggan;
·                      Dengan maksud dan tujuan tertentu (menjual mobil);
·                      Memberikan argumen-argumen terhadap isi pembicaraan;
·                      Sambil mendengar dan mempertimbangkan argumen-argumen balik dari pendengar;
Retorika didefinisikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni berbicara. Dalam perkembangannya retorika juga mencakup proses untuk ‘menyesuaikan ide dengan orang dan menyesuaikan orang dengan ide melalui berbagai macam pesan’.


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi Retoris
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dalam proses komunikasi retoris. Faktor-faktor ini terdapat pada setiap unsur komunikasi seperti: komunikator, pesan, medium dan resipiens.
Pada Komunikator
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dalam proses komunikasi retoris adalah:
1.            Pengetahuan Tentang Komunikasi Dan Keterampilan dan Berkomunikasi
Yang dimaksudkan adalah penguasaan bahasa dan keterampiIan mempergunakan bahasa; keterampilan mempergunakan media komunikasi untuk mempermudah proses pengertian pada resipiens; kemampuan untuk mengenal dan menganalisis situasi pendengar sehingga dapat memberikan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Di samping itu jenis hubungan antara komunikator dan resipiens dapat juga mempengaruhi efektivitas proses komunikasi.
2. Sikap Komunikator
Sikap komunikator seperti agresif (menyerang) atau cepat membela diri, sikap yang mantap dan meyakinkan; sikap rendah hati, rela mendengar dan menerima anjuran dapat memberi dampak yang besar dalam proses komunikasi retoris.
3. Pengetahuan Umum
Demi efektivitas dalam komunikasi retoris, komunikator se-baiknya memiliki pengetahuan umum yang luas, karena dengan begitu dia dapat mengenal dan menyelami situasi pendengar dan dapat mengerti mereka secara lebih baik. Dia harus mengetahui dan menguasai bahan yang dibeberkan secara mendalam, teliti dan tepat. Dia juga hendaknya mengetahui dan mengerti hal-hal praktis dari kehidupan harian para pendengarnya, supaya dapat menyampaikan sesuatu yang mampu menggugah hati mereka.
4. Sistem Sosial
Setiap komunikator berada dan hidup di dalam sistem masyarakat tertentu. Posisi, pangkat atau jahatan yang dimiliki komunikator di dalam masyarakat sangat mempengaruhi efektivitas komunikasi retoris (misalnya: sebagai pemimpin atau bawahan; sebagai orang yang berpengaruh atau tidak).
5. Sistem Kebudayaan
Di samping sistem sosial, sistem kebudayaan yang dimiliki se-orang komunikator juga dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi retoris. Tingkah laku, tata adab dan pandangan hidup yang diwarisinya dari suatu kebudayaan tertentu akan juga mempengaruhi efektivitas dalam proses komunikasi retoris dengan manusia lain.
Faktor-Faktor Pada Resipiens
Faktor-faktor ini pada umurnnya sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikator.
1. Pengetahuan tentang komunikasi dan keterampilan berkomunikasi
Supaya terjadi komunikasi, resipiens harus menguasai Bahasa yang dipergunakan. Keduanya hanya dapat saling berkomunikasi dan saling mengerti apabila mereka mempergunakan perbendaharaan kata yang sama dan yang dimengerti oleh kedua belah pihak. Komunikasi tidak akan terjadi apabila bahasa yang dipergunakan oleh komunikator tidak dimengerti oleh resipiens. Dalam hubungan dengan hal ini, perlu diperhatikan bahwa pendengar mempunyai cara mendengar dan mengerti sendiri, yang dapat berbeda dari apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh komunikator.
2. Sikap resipiens
Faktor ini juga ikut menentukan efektivitas komunikasi retoris. Sikap-sikap positif seperti terbuka, senang, tertarik dan simpatik akan memberi pengaruh positif dalam proses komunikasi; Sebaliknya sikap-sikap negatif seperti tertutup, jengkel, tidak simpatik terhadap komunikator akan mendatangkan pengaruh negatif.
3. Sistem sosial dan kebudayaan
Sistem sosial dan kebudayaan tertentu dapat menghasilkan sifat dan karakter khusus pada resipiens. Orang dapat bersifat patuh, rendah hati. suka mendengar, tidak banyak bicara atau tidak berani menantang.
Di lain pihak orang bisa menjadi kritis, suka memhantah dan tidak mudah tunduk kepada pimpinan. Juga cara menyampaikan sesuatu tidak sama di antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Sebab itu komunikator harus memperhatikan segala faktor ini. apabila dia mau mengharapkan efek yang besar dalam proses komunikasi dengan para pendengarnya.
Faktor-Faktor Pada Pesan Dan Medium
Antara komunikator dan resipiens ada pesan dan medium. Kedua faktor ini perlu diperhatikan oleh komunikator secara khusus dalam proses komunikasi retoris.
1. Elemen-Elemen Pesan
Komunikator menerjemahkan pesan dengan mempergunakan medium. Dalam proses ini, komunikator harus memperhatikan elemen-elemen yang membentuk pesan, supaya komunikasi dapat membawa efek yang bestir. Elemen-elemen itu berupa kata-kata dan kalimat, pikiran atau ide yang dibeberkan, alat peraga yang dipakai untuk meng-konkretisasi pesan, suara, tekanan suara, artikulasi, mimik dan gerak-gerak untuk mempedelas pesan yang disampaikan.
2.  Struktur Pesan
Struktur pesan yang ingin disampaikan juga dapat mempengaruhi efektivitas proses komunikasi retoris. Yang perlu diperhatikan adalah susunan organis di mana elemen-elemen itu dikedepankan untuk mengungkapkan pesan. Pada prinsipnya struktur atau susunan pesan harus jelas dan mudah dimengerti.
3.  Isi Pesan
Isi pesan yang di ungkapkan lewat medium harus dipertenggangkan dengan situasi resipiens. Isi pesan seharusnya mudah ditangkap, tidak boleh terlalu sulit, dan tidak rnengandung terlalu banyak ke-benaran, karena dapat membingungkan resipiens. Sebaiknya isi pesan dibatasi pada satu atau dua pokok pikiran yang diuraikan secara jelas, terinci dan tepat.
4.  Proses Pembeberan
Yang dimaksudkan adalah cara membawakan dan mengemukakan pesan dari komunikator. Ada tiga kemungkinan yang dapat dipilih, yaitu membawakan secara bebas, tanpa teks, terikat pada teks, atau setengah bebas. Ketiga kemungkinan ini membawa efek yang berbeda dalam proses komunikasi. Tentang hal ini akan dibicarakan lebih lanjut.

Kegunaan Komunikasi dalam Beretorika
Mengapa komunikasi retoris itu penting? Konred Lorenz mengatakan “ apa yang di ucapkan tidak berarti itu yang di dengar, apa yang di dengar tidak berarti itu juga yang dimengerti, apa yang dimengerti bukan berarti itu juga yang disetujui, apa yang disetujui bukan berarti itu yang di terima, apa yang diterima tidak juga berarti itu yang dihayati, apa yang dihayati tidak juga berarti mengubah tingkah laku”.
Kalimat-kalimat itu mengungkapkan kesulitan komunikasi antar manusia. Antar ide atau pikiran dan realisasinya yang konkret terbentang satu jalan panjang, yang memilikibeberapa kesulitan dalam penyampaian, sehingga dapat mengurangi efektifitas dalam komunkasi.
Oleh karena itu komunikasi retoris itu sangat penting, supaya apa yang diucapkan dapat di dengar, apa yang di dengar dapat dimengerti, apa yang dimengerti dapat disetujui, apa yang disetujui dapat di terima, apa yng diterima dapat di hayati, dan apa yang dihayati dapat mengubah tingkah laku.
SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA
Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mung­kin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema­tian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. “Sejarah manusia”, kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, “terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter­kenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan”.
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-­kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis se­zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, “Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri”. Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya, retorika me­mang mirip “ilmu silat lidah”.
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang mengguling­kan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderitahalitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem­beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men­jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon­takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Se­bagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-­gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan­-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah “dosen-dosen terbang”.
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan” Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati “adu pidato” seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su­paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-­jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris­an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang kepada hakikat – Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng­anjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian re­torika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta­hap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di dalam dan “thymos” pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: ma­yor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, “Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita “.Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge­mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristo­teles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pe­san, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pem­bicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk me­mudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me­mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampai­kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demos­thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipo­krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan­gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se­gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator­-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di­besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem­berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per­tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme­nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se­sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi”.
Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan – yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana….
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena­nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah.
Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se­kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran­-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well.
RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha­bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng­gerakkan – yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang­-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me­namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng­ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba­laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen­didikan Islam tradisional.
RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai­kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-­fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagaialiran epistemologis. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas – atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng­organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me­nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis – aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng­utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me­nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu­bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita­rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato – pada penyu­sunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga – disebutgerakan elokusionis – justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, “Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata­nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka”. James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per­hatian – dan kesetiaan – yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-resep” penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem­bangan ilmu pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak­ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men­definisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo­sisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication” sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga­nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da­sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka­limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang merupakan hasil pemikiran. Ki­ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Per­suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver(Psychology of Per­suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres­tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaranspeech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu.
Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agensynthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian.
Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
DEFINISI PIDATO
Pidato ialah suatu ucapan dengan memperhatikan susunan kata yang baik untuk disampaikan kepada orang banyak.
Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pidato didefinisikan sebagai (1) Pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak; (2) Wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak.
Contoh pidato yaitu seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato pembangkit semangat, pidato sambutan acara atau event, pidato pelepasan siswa, pidato memperingati hari Kartini, dan lain sebagainya.
MACAM-MACAM/JENIS/SIFAT PIDATO
Ditinjau berdasarkan pada sifat dari isi pidato, pidato dapat dibedakan menjadi:
1. Pidato Pembukaan, adalah pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca acara atau MC.
2. Pidato Pengarahan adalah pidato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan.
3. Pidato Sambutan, yaitu merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas secara bergantian.
4. Pidato Peresmian, adalah pidato yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh untuk meresmikan sesuatu.
5. Pidato Laporan, yakni pidato yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan.
6. Pidato Pertanggungjawaban, adalah pidato yang berisi suatu laporan pertanggungjawaban.
TUJUAN PIDATO
Pidato yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar pidato tersebut. Umumnya, kegiatan berpidato memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Memberikan informasi
Memberikan sebuah pemahaman baru, mengingatkan, atau memberikan informasi kepada khalayak ramai.
2. Persuasif atau mengajak
Mempengaruhi khalayak ramai agar dengan senang hati mengikuti apa yang kita harapkan dan apa yang kita sampaikan.
3. Hiburan atau rekreasi
Menyenangkan pihak audiens dengan pidato yang kita bawakan sehingga tecapai kepuasan dan kesenangan terhadap apa yang kita sampaikan.
METODE BERPIDATO
Di dalam kegiatan berpidato, dikenal empat macam metode berpidato. Metode berpidato tersebut antara lain:
1. Metode Impromptu
ialah metode berpidato yang dilakukan secara spontanitas, serta merta tanpa adanya persiapan terlebih dahulu. Metode ini sering disebut juga dengan metode spontanitas.
2. Metode Memoriter
yaitu metode berpidato yang dilakukan dengan cara pembicara menyampaikan isi naskah pidato yang telah dihafalkan terlebih dahulu. Metode ini lebih dikenal dengan metode menghafal.
3. Metode Naskah
yakni metode berpidato dengan cara pembicara membaca teks/naskah pidato yang telah dipersiapkan.
4. Metode Ekstemporan
adalah metode berpidato dengan terlebih dahulu membuat catatan kecil atau menyiapkan garis-garis bersar konsep pidato yang akan disampaikan.
Dari keempat metode berpidato tersebut, yang paling populer digunakan adalah metode terakhir.
Kelebihan metode ekstemporan antara lain membuat pidato lebih runtut dan sistematis, menghindari pengulangan bahasan yang telah disampaiakn di awal, serta menghindari ketertinggalan poin-poin penting karena faktor lalai atau lupa sehingga tidak sempat disampaian.
Agar pidato Anda dapat menarik minat dan perhatian pendengar, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kemukakan fakta dengan jelas.
2. Gunakan bahasa Indonesia yang baik sehingga mampu membangkitkan minat pendengar terhadap masalah yang kita sampaikan.
3. Berbicara secara wajar dan terbuka,
4. Sajikan materi dengan lafal dan intonasi yang tepat.
5. Gunakan mimik dan gerak-gerik secara wajar.

LANGKAH-LANGKAH MENYUSUN PIDATO
Adapun langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk menyusun naskah pidato adalah:
1. Menentukan topik pembicaraan
Ingat! Pemilihan topik jauh sebelum kegiatan pembicaraan akan sangat membantu pembicara menguasai materi, mencari materi pendukung, menambah ilustrasi, dan menyertakan bukti sebagai penguat alasan.
Topik hendaknya dipersempit sehingga tema pembiacaan tidak meluas. Hal tersebut akan memberikan efek lebih detil dan pembahasan yang mendalam.
2. Menetapkan tujuan
Seperti yang telah dibahas di atas, tujuan dari pidato dibedakan menjadi tiga macam. Tetapkan tujuan dari pidato kita, memberi informasi, mempengaruhi, atau sekadar sebagai hiburan.
NB: Di dalam memilih topik dan tujuan, hendaknya disesuaikan dengan kemampuan diri, mempunyai arti/kegunaan bagi pendengar dan lain-lain.
3. Menyusun kerangka pidato
Kerangka di dalam pidato terdiri dari pembukaan, isi, dan penutup.
4. Menyusun teks pidato
Dalam tapah ini, buatlah naskah pidato sedalam mungkin berdasarkan bahan-bahan referensi yang telah dikumpulklan sebelumnya. Buatlah pembahasan secara runtut dan sistematis.
5. Menyunting teks pidato
Di dalam tahap akhir ini, naskah drama yang telah selesai sebaiknya anda sunting lagi. Hal tersebut dimaksudkan agar penggunaan bahasa yang kasar, yang tidak sesuai, atau kurang komunikatif dapat diedit atau diperbaiki. Anda juga bisa meminta salah satu teman anda untuk membacanya dan memberikan tanggapan atau kritikan atas naskah pidato yang anda buat.

Jenis-jenis Pidato
1.jenis pidato dari segi tujuan
Jenis-jenis pidato juga dapat diidentifikasi berdasarkan tujuan pokok pidato yang disampaikan. Berdasarkan tujuannya, kita mengenal jenis-jenis pidato:
Pidato informatif adalah pidato yang tujuan utamanya untuk menyampaikan informasi agar orang menjadi tahu tentang sesuatu. Pidato pesuasif adalah pidato yang tujuan utamanya membujuk atau mempengaruhi orang lain agar mau menerima ajakan kita secara sukarela bukan sukar rela.Pidato rekreatif adalah pidato yang tujuan utamanya adalah menyenangkan atau menghibur orang lain. Namun demikian, perlu disadari bahwa dalam kenyataannya ketiga jenis pidato ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi satu sama lain. Perbedaan di antara ketiganya semata-mata hanya terletak pada titik berat (emphasis) tujuan pokok pidato.Pidato Aksi, adalah pidato bertujuan menggerakkan dengan sasaran mempersamakan visi (Tarigan, 1997: 22-23).5
2.jenis pidato dari segi persiapan
Sesuai dengan cara yang dilakukan waktu persiapan, pidato jenis ini bisa dibagi menjdi empat macam, yaitu;
1.impromtu
2.manuskrip
3.memoriter
4.ekstempore
Impromtu. Bila anda menghadiri sebuah acara kumpulan yang diadakan keluarga besar anda, ketika itu anda baru saja datang dari berpergian jauh ataupun anda baru saja menyelesaikan kuliah anda, maka biasanya tanpa terlebih dahulu memberi tahu kepada anda. Biasanya anda disuruh menyampaikan pidato, pidato yang anda lakukan adalah pidato impromtu. Pidato seperti ini tidak didahului dengan persiapan yang panjang.
Bagi seorang juru pidato yang sudah berpengalaman, impromtu memiliki beberapa keuntungan, yaitu;
1.impromtu lebih dapat mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya, karena pembicara tidak terlebih dahulu memilkirkan pendapat yang disampaikan,
2.gagasan dan pendapatnya datang secara spontan, sehingga tampak segar dan hidup,
3.impromtu memungkinkan anda terus berpikir.
Disamping itu, impromtu memiliki kerugian yang dapat melenyapkan keuntungan-keuntungan di atas, lebih lebih bagi pembicara yang masih hijau, yaitu;
1.impromtu dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah, karena dasar pengetahuan yang tidak memadai;
2.impromtu mengakibatkan penyampaian yang tersendat-sendatdan tidak lancar;
3.gagasan yang disampaikan bisa acak-acakan dan ngawur;
4.karena tidak ada persiapan kemungkina bisa demam panggung.
Impromtu sebaiknya dihindari, tetapi apabila terpaksa hal-hal berikut dapat dijakan pegangan
1.pikirkanlah telebih dahulu teknik permulaan pidato yang baik. Misalnya: cerita, hubungan dengan pidato yang sebelumnya, bandingkan, ilusrasi.
2.Tentukan sistem organisasi pesan. Misalnya; susunan kronologis, teknik (pemecahan soal), kerangka sosial ekonomi-politik, hubungan teori dan praktek.
3.Pikirkan teknik menutup pidato yang mengesankan. Kesukaran menutup pidato biasanya merepotkan pembicara impromtu.
Manuskrip. Ini biasa disebut juga pidato dengan naskah. Juru pidato membacakan naskah pidato dari awal samapi akhir. Manuskrip diperlukan oleh tokoh nasional, sebab kesalahan kata saja dapat menimbulkan kekacauan dan berakibat jelek bagi pembicara. Manuskrip juga juga dilakukan oleh ilmuan yang melaporkan hasil penelitiannya dalam pertemuan ilmiah.
Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut;
1.kata-kata dipilih sebaik-baiknya sehingga dapat menyampaikan arti yang tepat dan pernyataan yang gamblang;
2.pernyataan dapat dihemat, karena manuskrip dapat disusun kembali;
3.kepasihan bicara dapat dicapai, karena kata-kata sudah disiapkan;
4.hal-hal yang ngawur atau menyimpang dapat dihindari;
5.manuskrip dapat diterbitkan atau diperbanyak.
Ditinjau dari proses komunikasi kerugiannya cukup berat, yaitu;
1.komunikasi pendengar akan berkurang karena pembicara tidak langsiung berbicara kepada mereka
2.pembicara tidak tidak dapat melihat pendengar dengan baik sehingga akan kehilangan gerak dan bersikap kaku
3.umpan balik dari pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek, atau memperpanjang pesan
4.pembuatannya lebih lama dan hanya menyiapakan garis-garis besarnya
untuk mengurangi kekurangan-kekurangan diatas, beberapa petunjuk dapat diterapkan dalam penyusunan dan penyampaian manuskrip:
1.susunlah terlebih dahulu garis-garis besarnya dan siapkan bahan-bahannya
2.tulislah manuskrip seakan-akan anda berbicara. Gunakan gaya percakapan yang lebih informal dan langsung
3.baca naskah itu berkali-kali sambil membayangkan pendengar
4.siapkan manuskrip dengan ketikan besar, tida spasi dan batas pinggir yang luas
Memoriter.8 Pesan pidato ditulis kemudian dinggat kata demi kata. Seperti manuskrip, memoriter memungkinkan ungkapan yang tepat, organisasi yang berencana, pemilihan bahasa yang teliti, gerak dan isyarat yang diintegrasikan dengan uraian. Tetapi karena pesan sudah tetap, maka tidak terjalin saling hubungan antara pesan dengan pendengar, kurang langsung, memerlukan banyak waktu dan persiapan, kurang spontan, perhatian beralih kepada kata-kata kepada usaha mengingat-ingat. Bahaya terbesar bila timbul satu kata atau lebih hilang dari ingatan.
Ekstempore adalah jenis pidato yang paling baik dan yang paling sering dilakukan oleh juru pidato yang mahir9. Pidato sudah dipersiapkan sebelumnya berupa (out line) garis besarnya dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Tetapi pembicara tidak berusaha mengingatnya kata demi kata. Out line itu hanya pedoman untuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran kita.
Keuntungan ekstempore adalah komunikasi pendengar dengan pembicara lebih baik karena langsung kepada halayak, pesan dapat pleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan penyajiannya lebih spontan.
Bagi pembicara yang belum ahli, kerugian-kerugian yang dapat tinbul;
1.persiapan kurang baik bila terburu-buru
2.pemilihan bahasa yang jelek
3.kepasihan yang terhambat karena kesukaran memilih kata dengan segera
4.kemungkinan menyimpang dari out line
5.tidak dapat dijadikan penerbitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar